Menakar Keseriusan Negara Membangun Budaya Riset

Ilustrasi.

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah upaya membangun budaya riset, faktanya anggaran riset Indonesia menempati posisi paling rendah di antara anggota G-20. Banyak soal mendasar membelit dunia riset Tanah Air, mulai dari rendahnya kualitas periset, peneliti yang menua, tidak menariknya dunia riset, hingga system pendidikan yang tidak mendukung. Padahal penelitian dan kualitas riset ikut menentukan daya saing sebuah bangsa. Percepatan pembangunan membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan riset berkelanjutan yang didukung anggaran riset memadai.

Hal itu diperparah dengan minimnya peneliti di Indonesia. Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi “Masa Kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diselenggarakan harian Kompas baru-baru ini mengungkapkan, di antara negara anggota G-20, jumlah peneliti di Indonesia paling kecil, hanya 89 orang per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Korea Selatan dengan 6.899 peneliti per 1 juta penduduk. 2016-09-21-1_researchDi ASEAN, Indonesia juga jauh tertinggal dibandingkan jawara riset ASEAN, Singapura, yang memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk. Bisa disimpulkan, kondisi riset kita, selain jumlahnya kecil, kualitasnya pun relatif rendah. Di antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badang Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), hanya BPPT yang 10 persen pegawainya berpendidikan doktor, sedangkan di Lapan hanya 2 persen. Di sejumlah negara maju, hanya peneliti berkualifikasi doktor yang meneliti lalu dibantu peneliti berpendidikan magister dan sarjana.

Lantas, menakar keseriusan negara dalam membangun budaya riset, upaya apa yang mesti dilakukan untuk mendorong budaya riset dalam mendukung daya saing bangsa? Apa sebenarnya faktor yang membuat rendahnya kualitas peneliti kita? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan: Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro, wakil ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Guru besar teknik mesin ITB dan Djarot Sulistio Wisnubroto, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). (Heri CS)

Berikut perbincangannya: