Mencegah Terjadinya Defisit APBN

Semarang, Idola 92.6 FM – Sejak tahun 2012 sampai sekarang, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit keseimbangan primer. Penyebabnya adalah, target penerimaan negara yang kian tahun semakin susah dicapai. Menurut Menkeu Sri Mulyani Selama ini pinjaman yang dihimpun pemerintah tidak produktif, karena pinjaman tidak digunakan untuk investasi tapi hanya habis untuk bayar utang.

Secara logis, untuk mengatasi defisit keseimbangan primer, ada dua kunci, yang Pertama menurunkan belanja, dan yang Kedua, menaikkan penerimaan. Akan tetapi, jika belanja diturunkan, ditakutkan malah akan mengganggu pertumbuhan. Karena belanja dari pemerintah sangat dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan. Sehingga jalan satu-satunya yang mungkin ditempuh adalah meningkatkan penerimaan.

Itulah kenapa, Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro, mendorong agar ada upaya serius untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya dari pajak. Apalagi mengingat Tax ratio (yang sering dijadikan sebagai indikator Kemajuan suatu bangsa) di Indonesia baru sekitar 11 persen, sehingga dianggap kurang acceptable.

Bandingkan dengan tax ratio di Amerika Serikat yang mencapai 28%, Jepang 28%, Inggris 39%, Italia 43%, atau Korea Selatan 27%. (Tax ratio = perbandingan penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto, PDB).

Singkatnya, itulah kondisi yang mendorong pemerintah menyelenggarakan Program Pengampunan Pajak atau Tax Amensty! Yang pada intinya, mengundang Bapak/Ibu dan kita semua para para Wajib Pajak, untuk bersama-sama membantu negara, agar dapat keluar dari defisit keseimbangan primer.

Lantas, bagaimana jalan keluar dan terobosan apa yang mesti dilakukan untuk terus bisa meningkatkan tax ratio kita yang saat ini masih rendah? Adakah cara lain selain tax amnesty yang bisa dioptimalkan pemerintah untuk mencegah terjadinya deficit APBN?

Guna memeroleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berbincang dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Andreas Lako, Guru Besar Akuntasi, Kepala LPPM Unika Soegijapranata Semarang dan Mohammad Faisal, Direktur Riset CORE Indonesia. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: