Topic Of The Day: Mengurai Karut Marut Tata Niaga Obat

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah Negara Indonesia sesuai amanat UUD 1945 sejatinya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Namun, hal itu masih belum bisa terwujud hingga usia Negara kita mencapai 71 tahun pada 17 Agustus 2016. Salah satu hal yang masih jauh panggang daripada api itu pada aspek kesehatan. Berbagai undang-undang yang telah dibuat pun belum menjadi jaminan rakyat bisa mengakses obat-obattan dengan aman. Kesehatan bangsa seolah tak terlindungi. Salah satu faktornya, tata niaga kefarmasian dan obat-obattan seolah masih banyak lubang di sana-sini. Bisa dikatakan Negara belum hadir dalam lingkaran tata niaga obat-obattan.

Terkuaknya peredaran vaksin palsu sejatinya merupakan bagian dari masalah besar bangsa ini terkait dengan tata niaga obat-obatan itu. Selain masih lemahnya pengawasan juga terkait dengan distribusi obat yang tak terkendali. Banyak obat termasuk obat keras, diperjualbelikan bebas oleh orang ataupun badan usaha yang tak berhak atau menyalahi aturan. Meski berlangsung puluhan tahun upaya serius pemerintah menegakkan obat-obattan belum nyata. Pola penjualan dan distribusi obat yang serampangan serta perilaku masyarakat yang mau mudah mendapat obat dan sembuh dengan cepat membuat maraknya peredaran obat yang menyalahi aturan. Itu membuka peluang masuknya obat palsu, obat dengan zat aktif tak sesuai, dan mengancam nyawa konsumen.

Obat sejatinya diatur amat ketat, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemberian ke konsumen. Sebab, obat adalah bahan kimia yang punya reaksi farmakologi, bisa menguntungkan atau merugikan. Karena itu, peredaran obat diatur ketat di tiap aspek untuk menghindari peluang masuknya obat ilegal yang membahayakan. Berbagai masalah yang muncul di lapangan menunjukkan buruknya manajemen kefarmasian di Indonesia.

Tengku Bahdar Johan Hamid. (photo: jitunews)
Tengku Bahdar Johan Hamid. (photo: jitunews)

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM Tengku Bahdar Johan Hamid mengakui, terlalu banyak masalah dalam distribusi kefarmasian di Indonesia saat ini. Pengawasan oleh sejumlah pihak terputus-putus tak berada dalam satu komando.

Pengawasan Badan POM terbatas pada produknya dan pengawasan di sarana kefarmasian oleh Kementerian Kesehatan lewat dinas kesehatan di daerah. Dinas kesehatan umumnya tak punya sumber daya pengawasan. Data Badan POM tahun 2014 menyebut, 84,16 persen dari 8.510 sarana kefarmasian seperti apotek, toko obat, instalasi farmasi rumah sakit, klinik atau balai pengobatan, dan puskesmas melanggar ketentuan distribusi obat. Pada tahun 2015, jumlah turun jadi 81,89 persen dari 7.516 sarana.

Lantas, kian tak terkendalinya peredaran obat dan kesehatan bangsa yang tak terlindungi, kami mengajak Anda untuk ikut urun rembug, berbagi pandangan dan bertukar pemikiran. Menurut Anda, apa langkah strategis yang mesti dilakukan pemerintah untuk mengurai benang kusut karut-marut tata niaga obat di Indonesia? Benarkah regulasi dan pengawasan pemerintah masih lemah?

Optimalkan Peran Apoteker

Prof Zullies Ikawati. (photo: indonesiaproud)
Prof Zullies Ikawati. (photo: indonesiaproud)

Prof Zullies Ikawati, Guru Besar ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Farmakologi UGM Yogyakarta menyatakan, perlu pengawasan yang lebih ketat lagi terkait karut marut tata niaga obat-obatan di Indonesia. Terkait dengan hal itu, menurutnya, sebenarnya masuk pada wilayah profesi apoteker. “Jika apoteker bisa melakukan kewenangannya secara optimal peredaran obat palsu bisa diantisipasi,” ujarnya.

Menurut Prof Zullies, akar persoalan ini salah satunya dipicu peredaran obat-obatan tanpa melalui prosedur di Badan POM. Dalam konteks ini, apoteker juga berwenang menilai obat-obattan yang palsu atau tidak. Dan perlu diketahui public, peredaran obat palsu biasanya bermula di pasar gelap obat atau toko obat illegal.

Dia menjelaskan, obat palsu ada beberapa kategori. Pertama, obat yang produknya tidak berisi apa-apa. Namanya seperti obat pada umumnya tetapi tidak ada zat aktif yang bisa menyembuhkan. “Kedua, ada obat palsu yang ada isinya tetapi kadarnya lebih kecil dari yang standar atau hanya separonya saja,” tuturnya.

Menurut Prof Zullies, pengawasan obat-obattan sejauh ini belum bisa satu komando karena banyak yang terlibat terkait tata niaga kefarmasian. Selain itu, fungsi organisasi profesi seperti apoteker, juga belum berperan optimal.

Komitmen Penegakan Hukum

M. Dani Pratomo. (photo: majalahmedisina)
M. Dani Pratomo. (photo: majalahmedisina)

Sementara itu, M. Dani Pratomo, Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Apoteker Indonesia mengaku prihatin atas peredaran vaksin dan obat-obat palsu di pasaran. Sebab, ini menyangkut keselamatan jiwa manusia. Dia mengibaratkan, obat itu bermata dua, satu sisi bisa menyembuhkan dan satu sisi bisa mencelakakan.

Menurut Dani, maraknya peredaran obat palsu merupakan bukti bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Di sisi lain, kalau kita mau menjalankan aturan dengan baik, sebenarnya bisa mengoptimalkan peran apoteker.

“Salah satu akar persoalan vaksin palsu yakni apoteker tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Namun, dirinya bersyukur terkait kasus vaksin palsu, tak ada tersangka yang berprofesi apoteker,” ujarnya.

Menurut Dani, jumlah apoteker di Indonesia saat ini lebih dari cukup yakni berjumlah sekitar 60 ribu orang. Setiap tahun dihasilkan 5 ribu apoteker. Dia mengusulkan, setiap puskesmas juga ada seorang apoteker sebab di situ ada praktik kefarmasian.

Terkuaknya peredaran vaksin palsu sejatinya merupakan bagian dari masalah besar bangsa ini terkait dengan tata niaga obat-obattan itu. Selain masih lemahnya pengawasan juga terkait dengan distribusi obat yang tak terkendali. Banyak obat termasuk obat keras, diperjualbelikan bebas oleh orang ataupun badan usaha yang tak berhak atau menyalahi aturan. Untuk mengurai karut marut tata niaga obat-obattan ini diperlukan langkah strategis dan political will pemerintah. Kita berharap penegakan hokum bagi pelaku pengedar vaksin palsu benar-benar terungkap dan tuntas. Jangan sampai setelah kasus vaksin palsu ini mencuat, di kemudian hari isu di bidang kesehatan akan tenggelam lagi. Pemerintah harus melihat persoalan bangsa ini secara lebih makro. Sebab, biaya yang ditimbulkan dari peredaran obat palsu ini bisa jadi lebih tinggi dan bisa membebani APBN kita ke depan. (Heri CS)