Topic Of The Day: 56 Tahun Korps Adhyaksa, Bagaimana Menjadi Professional?

Semarang, Idola 92.6 FM – Ismail Saleh, Jaksa Agung tahun 1981-1984, menyatakan, Dhyaksa adalah jati diri jaksa. Mengandung unsur candra, memberi terang. Tirta, membersihkan diri dari kotoran. Sari, bunga yang harum, dan cakra, senjata pamungkas untuk menumpas segala kejahatan.

Setahun berlalu sejak Presiden Jokowi memerintahkan agar reformasi Kejaksaan dipercepat, serta menapaki tahun ke-56, Korps Adhyaksa masih harus bekerja keras mengokohkan diri sebagai salah satu garda terdepan penegakan hukum di negeri ini.

Sejatinya publik menaruh kepercayaan terhadap kemampuan jaksa dalam menjalankan tugasnya. Merujuk pada jajak pendapat harian Kompas Senin 18 Juli lalu, banyak orang menilai kompetensi jaksa saat ini cenderung baik.

Akan tetapi, kompetensi jaksa itu seolah goyah ketika berhadapan dengan realitas perkara hukum. Lantas, menapaki tahun ke-56 Korps Adhyaksa itu, bagaimana membangun Kejaksaan yang profesional sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia? Serta faktor apakah yang paling menyebabkan jaksa terjerat dalam berbagai kasus suap?

Komisioner Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menyatakan, dari waktu ke waktu Kejaksaan berupaya meningkatkan kinerjanya dan membangun kepercayaan masyarakat.

“Meskipun masih ada beberapa kasus suap oknum jaksa yang menurunkan pandangan masyarakat terhadap kejaksaan,” terangnya dalam Panggung Civil Society Radio Idola, Rabu (20/6).

Barita menyebutkan, salah satu tantangan kejaksaan yakni perkara yang makin kompleks. Sehingga diperlukan peningkatan kompetensi para jaksa. Untuk itu diperlukan anggaran dari pemerintah untuk mendukung hal itu.

Menurut Barita, faktor terbesar yang membuat Jaksa masih terjerat kasus suap yakni faktor moralitas dan integritas. “Selain itu, juga dipicu pengawasan internal khususnya dari unit terkecil di kejasaan negeri di bawah kewenangannya,” imbuhnya. Sehungga untuk itu, perlu dibangun system pengawasan internal yang efektif.

Kedepan sistem pencegahan dan penindakan harus segera dibangun oleh Kejaksaan. Selain itu, kualifikasi dan rekruitmen mengenai assessment psikologi calon jaksa juga mesti dicermati dengan saksama.

Sementara itu, Peneliti MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana menyatakan, sebenarnya sudah ada agenda reformasi kejaksaan sejak tahun 2005 silam. “Namun agenda reformasi tersebut belum terlaksana dengan baik,” tukasnya.

Menurut Dio, Pelanggaran etik yang dilakukan Jaksa masih kerapkali terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan pemantauan MAPPI di Jakarta, Kupang, Mataram dan Makassar tahun lalu terdapat 192 pelanggaran etik dari 392 pemantauan.

Dio mengungkapkan, MaPPI juga menyoroti masih rendahnya biaya perkara Kejaksaan. “Riset dari MaPPI, anggaran kejaksaan untuk penanganan pidana umum tidak ideal. Contohnya anggaran untuk 1 perkara hanya dialokasikan 3 juta rupiah dan 6 juta rupiah untuk di wilayah kepulauan,” terangnya.

Menurut Dio, anggaran penanganan perkara mestinya menjadi prioritas pemerintah ketimbang untuk pembangunan sarana dan prasarana yang bersifat fisik. “Ini menjadi catatan khusus ke depan karena juga akan memengaruhi kinerja Kejaksaan ke depan,” tuturnya.

Secara ide dan rencana reformasi dan penataan Kejaksaan sudah disusun. Namun sayangnya implementasi belum dijalankan. Sehingga, Korps Kejaksaan menapaki usia ke 56 ini masih harus terus bekerja keras dalam mengokohkan diri sebagai salah satu garda terdepan penegakan hukum di negeri ini.

Sebab,publik menaruh kepercayaan terhadap kemampuan jaksa dalam menjalankan tugasnya. Publik berharap tak ada lagi kasus suap dan korupsi yang menimpa para jaksa karena reformasi kejaksaan benar-benar diimplementasikan. (Heri CS/Diaz A)