Topic Of The Day: TNI Dan Penanggulangan Terorisme, Melanggar HAM?

Ilustrasi.

Semarang, Idola 92.6 FM – Keberhasilan Satgas Tinombala menumpas pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur, Abu Wardah alias Santoso menuai apresiasi dari berbagai kalangan. Kesuksesan ini pun dikabarkan akan menjadi masukan bagi Pansus Revisi UU Terorisme terkait aturan operasi gabungan penanganan terorisme antara polisi dan TNI.

Pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi salah satu isu krusial dalam agenda revisi UU Pemberantasan Terorisme. Pro dan kontra masih mewarnai pembahasan yang kini sudah mulai bergulir di parlemen tersebut.

Di satu pihak, mereka yang mendukung pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdiri di atas asumsi bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa. Karena itu, diperlukan penanganan yang luar biasa pula terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut.

Meski demikian, di pihak lain muncul kekhawatiran yang besar kalau kebijakan itu nanti justru menjadi pintu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Direktur Imparsial Al Araf mengungkapkan, rencananya pelibatan TNI secara aktif ini akan diatur dalam pasal 43B ayat 1 dan 2 draft revisi UU Pemberantasan Terorisme.

Menurutnya, ini tidak sesuai dengan mandat reformasi. Baginya, pelibatan TNI dalam klausul tersebut bertentangan dengan prinsip peraturan tata kelola keamanan dalam system pemerintahan yang demokratis.

Lantas, salahkah pelibatan TNI dalam penanganan terorisme? Apa plus-minus pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme?

Pelibatan TNI Harus Ada Undang-Undang

TB Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR RI.
TB Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR RI.

TB Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP menyatakan, dengan model gerakan terorisme yang lebih masif seperti kelompok Santoso yang telah berhasil dibekuk memang diperlukan kemampuan penumpasan seperti yang dimiliki TNI.

“Dasar hukumnya pun dalam Undang-Undang no 34 tahun 2004 tentang TNI ada yang namanya operasi pemberantadsan teroris oleh TNI. Ada juga Undang-Undang yang mengatur pemberantasan teroris dilakukan oleh polisi,” paparnya dalam Panggung Civil Society Radio Idola, Kamis (21/7).

Dia menyebutkan, pelibatan TNI tidak perlu menjadi isu krusial dalam revisi UU Terorisme. Yang terpenting adalah polisi dan TNI bisa saling kerjasama dalam pemberantasan terorisme.

“Polisi tidak mungkin dilatih khusus secara militer hanya untuk menangani terorisme. Yang penting ada undang-undangnya untuk menaungi hal ini,” tukas Hasanudin.

Saat ini, lanjut dia, revisi UU Terorisme masih dalam tahap diskusi dan pembahasan dengan mengundang para pakar. Terkait dengan kekhawatiran pelibatan TNI akan memicu HAM. Dia menilai asalkan dalam Undang-undang diatur hal itu tak akan terjadi.

Menurut Hasanuddin, tewasnya Santoso belum berarti akan tuntas permasalahan terorisme di Indonesia. Sebab, masih ada anggota kelompok Santoso lainnya. Selain itu, ditengarai masih ada sel-sel terorisme lain di beberapa daerah di Indonesia.

“Sel teroris itu masih ada, hilang satu tumbuh seribu istilahnya. Regenerasi selalu dilakukan mereka (teroris, red) dimana kalau pemimpin satu mati maka akan diteruskan lainya menjadi pemimpin,” kata dia.

Memadukan TNI Dan Polri

Wawan Purwanto, Pengamat terorisme dan Intelijen.
Wawan Purwanto, Pengamat terorisme dan Intelijen.

Sementara itu, Wawan Purwanto Pengamat terorisme dan intelijen menilai, penanganan terorisme dalam skala kecil memang cukup ditangani polri. Namun dalam skala besar polri membutuh tenaga TNI seperti yang dilakukan dalam Satgas Tinombala di Poso.

“Seperti dalam kasus penanganan Santoso itu kan gerilya hutan. Sehingga perlu pelibatan TNI untuk survival (ketangkasan bertahan hidup, red) diperlukan, Istilahnya saat TNI terlibat namanya Bawah Kendali Operasi (BKO),” ucapnya.

Terkait salahkah pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dalam revisi UU Terorisme. Menurut dosen Kajian Strategi Intelejen Universitas Indonesia itu, operasi penegakan hukum memang ranah polisi. Namun ketika operasi penumpasan dengan cara gerilya di hutan-hutan TNI sangat perlu dilibatkan.

Penumpasan terorisme juga tergantung kondisinya saat melibatkan personel TNI. Wawan mengibaratkan, untuk membunuh lalat tak perlu memakai pistol karena hal itu berlebihan. TNI perlu dilibatkan namun dengan melihat kondisi dan sasaran terorisnya.

“Meman kalau TNI itu kan untuk serangan mematikan lawan, tapi kalau polisi memang lebih kepada penegakan hukum. Jadi ini berbeda ranah yang satu ranah pertahanan yang satu ranah hukum jadi memang tidak bisa dipersatukan. Namun bisa untuk diperbantuka,” pungkasnya.

Pro dan kontra masih mewarnai pembahasan yang kini sudah mulai bergulir di parlemen tersebut. Di satu pihak, mereka yang mendukung pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdiri di atas asumsi bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa.

Karena itu, diperlukan penanganan yang luar biasa pula terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut. Merujuk pendapat Wawan Purwanto, Pengamat terorisme dan intelijen yang menyatakan pelibatan TNI harus dipahami lebih pada konteks aspek pertahanan negara untuk mematikan lawan.

Keduanya memang beda ranah, dimana yang satu ranah pertahanan dan yang satu tanah hukum. Hal itu tidak bisa disatukan tetapi kalau diperbantukan hal itu bisa dilakukan. Pelibatan TNI bisa dilakukan bergantung pada tingkat ancaman dan target terorisnya. (Heri CS/Diaz A)