Bagaimana Mengungkit Produktivitas Belanja Daerah Namun Tetap Akuntabel Dan Aman Dari Jerat Hukum?

Semarang, Idola 92.6 FM – Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesungguhnya merupakan upaya untuk mewujudkan pembangunan. Meningkatnya porsi belanja modal daerah sejatinya merupakan stimulus untuk menggerakkan ekonomi daerah. Dengan belanja semakin tinggi berarti produktivitas terjadi. Dengan produktivitas maka perputaran rantai ekonomi pun terjadi dan dampaknya sangat dirasakan masyarakat.

Namun, sayangnya, adanya anggaran dana berkecukupan yang dimiliki daerah kini justru ngendon alias parkir di bank. Menjadi semacam modal yang tak dimanfaatkan. Kabupaten Tangerang menjadi daerah dengan persentase teringgi dana parkir di BPD bila diukur dari total APBN 2017 yakni 38 persen (Rp1,78 triliun). Disusul Jember 36 persen dan Kota Tangerang 32,75 persen.

Di hadapan kepala daerah di Istana Negara baru-baru ini, Presiden Jokowi pun mengkritik tingginya persentase dana daerah tersebut. Para kepala daerah diminta lebih pintar mengelola keuangan daerah. Tujuannya untuk mengurangi besarnya kas daerah yang lama ngendon di BPD. Presiden menyebut, kita mencari penerimaan dari pajak itu sulit namun ketika ditransfer ke daerah duitnya tidak digunakan tetapi diparkir di bank. Dia meminta para kepala daerah mengejar para kepala dinas agar uang tersebut bisa segera dikeluarkan. Sehingga, uang bisa berputar di masyarakat dan membuat ekonomi terdongkrak naik.

Lantas, apa sebenarnya pokok persoalan yang membuat besarnya kas daerah yang ngendon di bank? Kenapa fenomena ini kerap terulang setiap tahunnya? Apa hambatan daerah dalam memutar kas daerah? Di sisi lain, apa dampak buruk jika ini terus terjadi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Enny Sri Hartati, Direktur Institute for development of Economics and finance (INDEF) dan Bupati Kulon Progo dr Hasto Wardoyo. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: