Demokrasi Kita Masih Abaikan Demokrasi Kultural

Semarang, Idola 92.6 FM – Cara pandang kita terhadap demokrasi masih mengabaikan demokrasi kultural dan hanya struktural. Ini membuat rakyat hanya dimaknai sebagai deretan angka semata.

Demikian dikemukakan budayawan Prof Agus Maladi Irianto dalam Semarang Trending Topic-Diskusi Membangun Jawa Tengah yang digelar Radio Idola 92.6 FM Semarang bertema “Pilkada, Pemilihan untuk Siapa?” di Hotel Pandanaran Semarang, Kamis (26/1) pagi. Selain Prof Agus Maladi, diskusi yang diangkat dalam momentum jelang pelaksanaan Pilkada Serentak 15 Februari 2017 itu menghadirkan narasumber: Pengamat politik Budi Setyono; Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP Undip Yuwanto Ph.D; serta moderator Nadia Ardiwinata (penyiar Radio Idola 92,6 FM, dosen Fakultas Komunikasi Udinus)

Agus Maladi menjelaskan, persoalan kita saat ini adalah soal perspektif kita memandang demokrasi. Agus melihat, demokrasi di Indonesia bisa dilihat dari dua sisi yakni struktural dan kultural. “Selama ini yang dilihat demokrasi secara struktural. Sehingga, esensi suara rakyat suara tuhan itu karena secara struktural, rakyat itu hanya sebagai deretan angka saja,” ujar dosen yang baru saja menggapai predikat guru besar FIB Undip Semarang ini.

Menurut Agus Maladi, demokrasi yang hanya dilihat pada saat pemilu sangat menyederhanakan demokrasi. Padahal, bicara demokrasi, tidak hanya sekadar bagaimana memilih pemimpin. “Tetapi ada kreativitas, hak asasi manusia di dalamnya. Ada banyak bagian dari demokrasi. Nah, itu seringkali diabaikan,” ujarnya.

Agus menyebut, usia demokrasi pada peradaban di dunia sudah ribuan tahun. Tetapi di Indonesia yang mengemuka justru hal-hal yang bersifat kalkulasi dimana manusia itu masih sekadar fisik. Hati nurani dan gagasannya tidak pernah dihitung.

“Sehingga, suara rakyat suara tuhan ini, ya fisiknya saja. Ide, gagasan, cita-cita, bahkan apapun yang melekat secara hal-hal yang sifatnya kultural tidak menjadi sesuatu yang mengkonstruksi sebuah demokrasi. Dan, ini sebenarnya parah. Bahaya!” tandas pria yang juga sineas ini.

Menurut Agus, masih ada peluang bagi rakyat agar tidak hanya dijadikan alat legitimasi atau alat stempel oleh elite. Kalau kita bisa kembalikan, bahwa demokrasi secara subtasni bukan prosedural, itu akan beri ruang untuk kembalikan rakyat memiliki daulat penuh. Tidak ada pilkada pun banyak yang bisa menciptakan demokrasi. Namun, sayangnya ukurannya, hanya saat ada pemilu rutin, 5 tahunan itu saja dan berhenti di situ. Dan, seolah-olah itu adalah potret demokrasi di situ. Memilih pemimpin langsung saat pemilu. Padahal di baliknya, hanya konstruksi-konstruksi yang semu,”