Demokrasi Kita Masih Abaikan Demokrasi Kultural

Pilkada Hasilkan Wajah Ganda

Sementara itu, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP Undip Yuwanto Ph.D mengungkapkan, idealnya sebuah praktik kedaulatan rakyat dalam tradisi demokrasi, yang terpenting adalah bagaimana rakyat memiliki kedaulatan yang tecermin dalam pemerintahan yang dipilih rakyat. Yuwanto menyitir adagium, mengganti pemimpin dalam sistem demokrasi seperti mengganti pampers atau popok. Bisa dilakukan secara berulang-ulang untuk alasan yang sama.

“Kalau pampers sudah bau, sudah tidak berfungsi, maka harus diganti. Sama seperti pemimpin, kalau sudah tidak berfungsi atau tak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka ya diganti. Itu sesuatu yang wajar. Dan memang cerminannnya demikian dalam demokrasi,” katanya.

Menurut Yuwanto, konteks Pilkada penting, sebab kita ingat Indonesia tahun 1998 ada reformasi politik. Salah satu tuntutan kaum reformis, selain amandemen konstitusi adalah otonomi daerah. Konsekuensi otonomi daerah, adalah desentralisasi politik, bagaimana rakyat di daerah memiliki kedaulatan memilih pemimpinnya sendiri.

Secara teoritis, demokratisasi di tingkat nasional tidak akan pernah berhasil kalau di tingkat daerah kebijakan desentralisasi kita juga tak berhasil. Ini semacam dua sisi dalam satu koin yang sama. Tidak akan mungkin otonomi daerah kalau tak ada demokratisasi. Tapi, demokratiasai tak akan sampai dalam tahap konsolidasai dari proses transisi demokrasi sebelumnya.

Dalam konteks pemilu, pilkada masih menunjukkan wajah ganda. Secara normatif, kita yakin, pilkada bisa tampilkan wajah demokratis. “Namun, di sisi lain, ada wajah buruk praktik pemilihan kepala daerah, yang sampai saat ini dengan mudah dilihat, yakni hasil pilkada belum mampu menghasilkan pemimpin seperti yang diharapkan rakyat di dalam pilkada,” tandasnya. (Heri CS)