Di Balik Skandal BLBI, Benarkah Obligasi Rekap Menjadi Biang Kerusakan Struktur Keuangan Negara?

Semarang, Idola 92.6 FM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru – baru ini kembali membuka kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam kasus ini Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung ditetapkan sebagai tersangka baru kasus yang merugikan negara hingga Rp138,4 triliun itu. Syafruddin dianggap bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Kasus BLBI merupakan salah satu kasus korupsi yang menjadi sorotan masyarakat mengingat pengusutan berjalan sangat lamban dan menimbulkan kerugian yang begitu besar bagi keuangan Negara. Sejumlah kalangan bahkan menilai bahwa obligasi rekapitalisasi perbankkan eks BLBI ini merupakan sumber utama atau biang kerusakan struktural keuangan Negara. Dampaknya memicu masalah struktural bangsa, yakni kemiskinan dan kesenjangan sosial. Diketahui pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sekitar 70 triliun rupiah setiap tahun. Itu artinya hampir 75 persen utang negara berasal dari beban utang BLBI tersebut.

Di sisi lain, rakyat yang tidak menikmati utang itu justru dipaksa menanggung kesalahan pengelolaan bank oleh obligor BLBI. Karena pajak dari rakyat digunakan untuk membayar utang BLBI setiap tahun. Jika hal ini terus dibiarkan suatu saat akan menimbulkan masalah yang lebih dahsyat karena APBN tidak sanggup lagi membayar bunga, apalagi berikut pokok utangnya.

Lalu apa jalan keluar agar pemerintah dapat keluar dari ancaman kerusakan struktural keuangan negara yang lebih besar ? Mungkinkah dilakukan moratorium pembayaran obligasi rekapitulasi ?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Fahmy Radhi (Ekonom UGM Yogyakarta) dan Wijayanto Samirin (Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: