Rekonsiliasi, Sebuah Keniscayaan Atau Mimpi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila hampir selalu beriringan dengan adanya hantu komunisme. Komunisme masih menjadi fobia bagi sebagian masyarakat Indonesia. Padahal, kita sepatutnya merangkul masa lalu dan menatap masa depan. Dalam bahasa kekinian — kita mesti move on dari masa lalu yang penuh dendam dan curiga untuk menatap masa depan yang dipenuhi rasa cinta dan damai di antara sesame. Hal ini agar di masa mendatang kita bisa mewariskan harmoni ke anak cucu kita. Bukan warisan dendam dan permusuhan.

Seperti yang diajarkan putri sulung mendiang Mayjen DI Pandjaitan, Catherine Pandjaitan. Ketika tragedi itu terjadi, Catherine masih berusia 17 tahun. Ia merupakan saksi peristiwa tragis saat ayahnya diculik dari rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Blok M, Jakarta Selatan, tahun 1965 silam. Saat menghadiri upacara Hari Kesaktian Pancasila Minggu (1/10) lalu, ia mengungkapkan keluarganya sudah memaafkan peristiwa itu sejak lama.

Para keluarga pahlawan revolusi yang lain juga sudah memaafkan. Chaterine merasa sudah dapat menerima peristiwa yang menjadi bagian dari hidupnya. Ia mengaku ikhlas menerima kenyataan dan menghilangkan rasa dendam atas peristiwa itu. Hal ini ia lakukan dengan berusaha untuk berkawan dengan putra-putri tokoh PKI. Bahkan, Catherine kini bisa disebut bersahabat dengan putra tokoh PKI, D.N. Aidit yaitu Ilham Aidit dan putri Njoto, Svetlana Njoto.

Lantas, bagaimana upaya mewujudkan rekonsiliasi agar benar-benar terwujud? Prasyarat apa yang mesti diperlukan untuk itu? Lalu, apa pula yang membuat para korban masih terlalu sulit untuk saling memaafkan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Letjen (Purn) Agus Widjojo (Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lembhanas) dan Natalius Pigai (Komisioner Komnas HAM). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: