Semarang, Idola 92.6 FM – Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta jajarannya menonton kembali film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Tak hanya itu, ia pun mengajak masyarakat untuk nonton bareng film karya Arifin C Noor tersebut. Hal itu menuai pro dan kontra bagi sebagian kalangan. Mereka yang menolak beralasan, film itu merupakan alat propaganda dan legitimasi penguasa Orde Baru. Sementara yang mendukung, mereka beralasan ada upaya pihak-pihak tertentu yang hendak membangkitkan komunisme. Terkait bagaimana generasi milenial melihat film ini dan mesti ditempatkan di mana film ini dalam konteks membaca ulang sejarah bangsa, Radio Idola 92.6 FM dan radioidola.com mewawancara sejarawan JJ Rizal. Berikut petikan wawancara yang dilakukan oleh penyiar Nadia Ardiwinata.
Nadia: Belakangan ini film G 30S PKI kembali diputar dan bahkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengajak masyarakat untuk nonton bareng. Bagimana Anda menakar plus-minusnya?
JJ Rizal: Ramainya kembali pemutaran film Penumpasan Pengkhiatan G 30S/ PKI sebenarnya harus dilihat sebagai politik dari pada penyadaran sejarah karena di dalam film itu, istilah Bung Hatta, lebih banyak ‘Dichtung’ daripada ‘Wahrheit’nya. Dichtung maksudnya sesuatu yang dibuat-buat daripada sesuatu yang benar. Karna yang dibuat-buat itu sebenarnya untuk kepentingan politik dari orang yang paling penting dan merasa penting atas diputarnya film itu. Nah, ada dua yang merasa penting film itu diputar, yakni untuk urusan politik. Pertama, Pak Harto tapi kan Pak Harto-nya sudah meninggal. Kedua, tentu saja Tentara Nasional Indonesia (TNI), wabil khusus tentara atau TNI Angkatan Darat. Tapi, kan tentara kita sudah tidak bisa berpolitik. Tahun 2019 sudah dekat, jadi kita bisa memproyeksikan ketika film ini diputar, ini sebenarnya bukan gerakan penyadaran sejarah. Tetapi sebuah gerakan politik karena film itu bukan produk seni tapi produk politik. Itu yang harus dimengerti.
Nadia: Kalau film ini di masa sekarang ini kan kita tahu generasi milenial dan anak-anak muda juga ikutan menyaksikan dan nonton bareng. Kalau dari sisi sejarahnya, seberapa besar minat generasi milenial ini mempelajari sejarah? Apakah dengan menonton film ini bermanfaat atau justru ada mudharatnya?
JJ Rizal: Dari film itu sebenarnya kita bisa melihat mereka itu anut grubyuk atau ikut-ikutan. Konsep film itu sendiri suatu yang asing bagi generasi milenial. Secara sinematografinya, dan semacamnya. Jadi, mereka menurut saya hanya ikut-ikutan tapi dalam konteks ini bisa dilihat ada manfaatnya. Film itu bisa saja menjadi kasus bagaimana anak-anak milenial itu ingin melihat cara bodoh bapak-bapaknya atau kakek-kakeknya itu membuat kebodohan karena di tangan cucu dan anaknya sekarang bisa mengakses informasi dengan cepat melalui gadget yang mereka miliki. Tetapi juga bisa ada mudharatnya karena film ini–istilah Pak Taufik Abdullah sebenarnya tidak perlu diputar lagi karena mewariskan balas dendam, menumbuhkan kesumat. Dan, ini berbahaya sekali bagi pegaulan kebangsaan kita yang sudah tidak sehat akan semakin tidak sehat.
Nadia: Benarkah sejarah itu memang disusun oleh mereka yang menjadi pemenang atau berkuasa pada satu masa?
JJ Rizal: Sebenarnya ada betulnya. Pada konteks sejarah 1965 kita harus melihat bahwa sejarah itu bukan dibuat, tetapi sejarah itu direkayasa sebagai sebuah alat legitimasi bagi kekuasaan sekaligus alat pembenar atau dalih untuk melakukan segala hal. Sehingga, mereka punya legitimasi untuk bertindak macam-macam. Jadi, tidak ada sejarah di dalam kekuasaan itu. Yang mereka punya adalah sebuah peristiwa yang dicitrakan seolah-olah ada sebagai dalih untuk melakukan banyak hal, bahkan pembunuhan. Peristiwa mereka gambarkan begitu dramatis dengan banyak kebohongan. Di dalamnya ada peristiwa mengerikan yang bertolak belakang dengan yang mereka ajarkan bahwa kita bangsa yang berbudi luhur, welas asih, ramah tamah, murah senyum. Karena ada ratusan ribu bahkan ada yang mengaku 2,5 juta orang itu dibunuh, dibantai, antara tahun 1965 sampai tahun 1967. Bayangkan, sebuah kekuasaan bangkit dengan membunuh dan menebar ketakutan, permusuhan dan sikap anti. Sejak itu kekuasaan itu sebenarnya membalik segala hal yang kita ucapkan sebagai cita-cita luhur Pancasila. Bertolak belakang dengan pancasila.
Nadia: Bisa dikatakan film itu seolah-olah adalah sejarah begitu?
JJ Rizal: Itu bukan sejarah. Itu adalah propaganda yang dibuat sebagai sejarah karena dimasukan dalam sistem yang begitu sistematis terstruktur dan masif. Sejak kelas 6 SD kita harus belajar tentang peristiwa yang dibuat oleh Orde Baru itu masuk dalam kurikulum.โ
Nadia: Jadi, kalau dalam konteks Indonesia saat ini masih memungkinkan kah kita meluruskan sejarah seputar peristiwa ditahun 1965 itu?
JJ Rizal: Kita harus punya keberanian dan keberanian itu sudah kita tekadkan berkali-kali sejak tahun 1998. Kita ingin menulis ulang sejarah. Setiap era presiden yang naik ke bangku kekuasaan selalu berkata ingin menjernihkan peristiwa itu. Beberapa sudah kelihatan. Tahun 2004 misalnya, ada kurikulum baru yang mencoba mamberikan tambahan pelajaran di bangku-bangku sekolah tentang peritiwa 1965 dan terkait sejarah yang lain yang kontroversi. Tapi tiba-tiba kurikulum diganti. Kemudian, penulisan buku babon sejarah nasional Indonesia yang menjadi sumber dari semua sumber buku-buku pelajaran dari bangku sekolah dasar sampai universitas itu tidak pernah dilakukan. Jadi, sebenarnya kita bangsa–sering menyebut jas merah mengutip Bung Karno, tapi sebenarnya kita tidak perah mengenakan jas merah untuk diri kita sendiri. Karena kita lebih berpikir seperti Pak Harto, โmasa lalu itu, ya sudah dikubur saja tidak usah diingat-ingat, karena kalau diingat maka seluruh struktur bangunan kekuasaan yang korup, yang keji kejam, kotor terhadap kemanusiaan itu akan terungkap.โ Kita bisa memulai sebuah era baru pergaulan kebangsaan untuk mengenali pancasila secara lebih benar.
Nadia: Sampai sekarang ini belum ada yang berani untuk meluruskan dan menjernihkan itu?
JJ Rizal: Iya. Contohnya Pak Presiden sendiri kan nonton bareng paginya. Kemudian memimpin upacara di lubang buaya. Itu semua kan praktek Orde Baru. Artinya kalau di dalam nawacita sejarah disebut dengan terang-terangan oleh Pak Jokowi sebagai sumber aspirasi dan inspirasi kita menatap masa depan. Artinya Pak Jokowi itu sudah mengkhianati nawacita nya. Ini menurut saya mengecewakan sekali dengan tujuan-tujuan kita mengoreksi masalalu.
Nadia: Bagaimana anjuran Anda terhadap anak muda sekarang di era milenial kalau kita berkaca pada kasus 1965 dan pemutaran kembali film Penghianatan G 30S/ PKI?
JJ Rizal: Menurut saya yang harus dilakukan adalah membaca lebih banyak dan melek terhadap informasi, terbuka terhadap informasi dan bersifat skeptis. Sebab, orang tua mereka dan negara telah abai terhadap masa lalu dan malah ada kecenderungan untuk terlibat dengan dosa masa lalu dalam membuat kebohongan sejarah. (Fera Asmiana/Heri C Santoso)