Menakar Polemik Pemutaran Kembali Film G30S

Oleh: Gotcha Randy dan Heri C Santoso

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada setiap bulan September, isu komunisme selalu mengemuka dan menjadi topik perbincangan baik di kaum elite hingga warung kopi. Palu dan arit yang menjadi simbol Partai Komunis Indonesia bagi sebagian orang masih menakutkan karena fobia peristiwa 1965. Namun, bagi sebagian masyarakat komunisme merupakan sebuah ideologi yang telah berkembang di dunia sejak lama.

Sejarah palu arit di dunia. Pernahkah bertanya mengapa gerakan komunisme sedunia memakai simbol tersebut dalam perjuangannya? Dalam catatan International People’s Tribunal 1965 berjudul “The Spectre of Hammer and Sickle”, palu mewakili kaum buruh, sementara arit mewakili petani. Saat digabungkan, keduanya bersama-sama mewakili persatuan kaum proletar dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan setara.

Simbol ini dipakai pertama kali selama Revolusi Rusia namun tak menjadi simbol resmi Russian Soviet Federative Socialist Republic (Russian SFSR atau RSFSR) hingga 1924. Simbol ini kemudian dipakai oleh berbagai golongan komunis dan negara-negara sosialis sedunia.

Simbol lain yang kerap disandingkan dengan palu arit adalah bintang lima berwarna merah, yang pertama kali digunakan dalam Revolusi Oktober 1917 dan dilanjutkan perang sipil di Rusia. Simbol ini digunakan secara luas oleh gerakan dan partai anti-fasisme serta organisasi bawah tanah Eropa selama Perang Dunia II.

Kini simbol ini juga masih dipakai oleh partai komunis dan sosialis sedunia, bersanding dengan palu arit maupun atribut khas negara masing-masing. Baik palu arit dan bintang merah biasanya dituangkan dalam bendera berwarna merah dengan makna yang serupa: yakni perjuangan kelas proletar melawan penindasan borjuisme dan kapitalisme.

1. Film G30S dan Dampaknya Hari ini

Baru-baru ini, publik terhenyak dengan apa yang dilakukan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia meminta jajaran TNI untuk menonton film Pengkhianatan G30S karya Arifin C. Noor sebagai bagian dari upaya mengingat sejarah. Tak sampai di situ, ia juga menganjurkan para prajuritnya untuk nobar film tersebut bersama keluarganya masing-masing. Namun, masih relevankah sebenarnya film propaganda tersebut dihadirkan kembali?

“Sebagai alat yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, film punya kemampuan luar biasa untuk merebut kepemilikan sejarah,” tulis Audrey Gibbs dan Nicole Robertson dalam “History in Film: Real or Just Reel?”

Klaim itu tepat. Sampai hari ini, misalnya, banyak orang Indonesia masih menyertakan embel-embel Partai Komunis Indonesia (PKI) pada peristiwa politik 30 September 1965, sebagaimana judul film dokudrama keluaran Perum Produksi Film Negara (PFN) pada 1984. Padahal, sejarah versi rezim Orde Baru yang disampaikan film itu, bahwa PKI ialah penanggung jawab tunggal prahara, telah terbukti keliru.

Sekalipun tak punya pendahulu di Indonesia, Soeharto tidak orisinal. Ia bukan pemimpin pertama yang memanfaatkan perusahaan film negara untuk menipu rakyat dan menampilkan dirinya sebagai jagoan. Puluhan tahun sebelumnya, Adolf Hitler dari rezim Nazi Jerman sudah melakukan hal tersebut.

Hitler sadar betul akan kemampuan sinema. Dalam Mein Kampf, ia menulis: “Gambar … termasuk film, punya kesempatan yang lebih baik, dan jauh lebih cepat, ketimbang bacaan untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu.”

Film-film propaganda lumrah menampilkan militer sebagai pahlawan atau juru selamat. Itu tak mengherankan, sebab dalam rezim kediktatoran, militer umumnya menjadi pemain utama di bidang politik. Para perwira militer selama kepresidenan Soeharto memegang posisi-posisi kunci di Indonesia, mulai dari pemerintah kota/kabupaten, pemerintah provinsi, duta besar, peradilan, hingga perusahaan milik negara.

Demikian pula urusan film. Masa itu, kepala PFN ialah Gufran Dwipayana, seorang tentara yang kemudian alih profesi menjadi sutradara televisi. Campur tangan itu memungkinkan militer terlibat secara penuh, mulai dari penentuan tujuan (misal: untuk merekonstruksi sejarah sesuai dengan historiografi resmi negara) hingga aturan sensor. Itu terjadi baik dalam pemerintahan Nazi maupun Orde Baru.

2. Identitas Dan “The Other”

Dalam kasus ini kalimat dari Filsuf eksistensialis modern, Jean Paul Sartre menjadi relevan. ia pernah menyebut, “Yahudi adalah seseorang yang dipandang oleh orang lain sebagai Yahudi…kaum anti-Semitlah yang membuat orang Yahudi”.

Di sini nampak jelas bahwa identitas seseorang atau sekelompok orang, (seringkali) dibentuk bukan oleh dirinya sendiri melainkan oleh orang atau sekelompok orang lain. Lalu apa risikonya? Tentu saja jika stigma buruk dimunculkan atas identitas kelompok “the other” itu, maka dengan mudah kekerasan bisa ikut merayapinya.

Kira-kira, dengan mengutip analogi Sartre inilah, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya identitas “orang-orang komunis” di Indonesia pasca Oktober 1965 dibentuk oleh orang atau sekelompok orang lain itu (terutama negara/militer). Mereka tiba-tiba menjadi “the other”.

Mereka menjadi seakan-akan adalah momok yang menakutkan, menjadi musuh bersama, di mana segala sumpah serapah, kesalahan, kegagalan dan bahkan kemiskinan kala itu ditumpahkan kepada “the other” ini karena orang-orang sekelilingnya memandang dan melihatnya demikian termakan oleh propaganda dan doktrin-doktrin yang terjadi pada masa itu.

3. Paranoia Masyarakat Indonesia

Namun kenapa simbol-simbol ini kini menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan, sampai dibuatnya Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah dalam menangkapi para pengguna atribut palu-arit, menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri, dan membubarkan berbagai diskusi terkait peristiwa 1965.

Terdapat kontradiksi di dalam bunyi pasal tersebut sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga negara Indonesia. Dampaknya di kemudian hari bisa dilihat dalam kasus yang terjadi pada hari Minggu malam, pada 17 September 2017 saat massa mengepung kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta usai pertunjukan musik, pembacaan puisi, dan komedi tunggal terlaksana. Acara itu serangkaian dengan seminar tentang sejarah 1965, yang seharusnya digelar sehari sebelumnya, tetapi tertunda karena intervensi kepolisian dan sejumlah ormas.

Massa memaksa masuk, merusak pagar, dan menyerang para pengunjung acara tersebut dengan cara melemparkan batu ke kantor LBH, tak peduli di antara para pengunjung itu terdapat wanita dan orang-orang berusia lanjut. Mereka berteriak-teriak dan menyanyikan yel-yel “Ganyang PKI.”

Sweeping terhadap hal-hal yang berbau kiri telah menjadi problematika negara ini tiap tahunnya. Entah sampai kapan ini akan berlangsung. terdapat unsur masyarakat yang selalu paranoid dengan unsur komunis: di sudut agama ada masyumi dan kelompok yang memiliki ikatan batiniah dengannya.

4. Rekonsiliasi Nasional

Perlu kita kembali membuka mata mengenai upaya pelurusan sejarah peristiwa 1965, usaha rekonsiliasi nasional, dan Marxisme sebagai ilmu. Bahkan hingga di era ketika informasi sudah demikian terbuka ini, masih banyak orang yang termakan mentah-mentah propaganda Orde Baru bahwa semua yang kiri itu busuk dan harus dibuang jauh-jauh.

Tragedi 1965 merupakan tragedi kemanusiaan. Ratusan ribu hingga jutaan manusia dibunuh karena dituduh sebagai simpatisan PKI, sisanya dibui tanpa diadili. Keturunannya pun turun didiskriminasi. Kita bisa saja tidak setuju dengan ideologi komunisme, tapi bukan berarti kita harus setuju dengan pembantaian, pemenjaraan dan pendiskriminasian orang-orang yang dituduh simpatisan PKI tanpa sidang yang jelas dan keturunannya.

Maka demikianlah, isu kiri ini berlalu lagi untuk kemudian suatu hari nanti dibangkitkan lagi dan hilang lagi dan muncul lagi dan terbang lagi tanpa penyelesaian berarti. Tanpa penyembuhan luka-luka sejarah. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai segala yang kiri.

Musim paranoia itu belum berlalu. Indonesia belum sepenuhnya bebas dari stigma dan prasangka khas Orde Baru. Pelarangan acara-acara berbau kiri dan pemberangusan buku-buku kiri kemungkinan masih akan berulang lagi di waktu mendatang. Kita tak pernah tahu sampai kapan ini kan berlalu. (Gotcha Randy/Heri C Santoso)