Opini: Membaca Turki, Teringat Nazi

Pada tanggal 27 februari 1933, bangunan parlemen Jerman atau Reichtag dibakar, Pemerintahan kemudian menuding bahwa hal tersebut merupakan upaya Komunis untuk mengambil alih negara. Hitler yang saat itu menjabat sebagai kanselir, mendesak presiden Paul von Hinderburg untuk mengumumkan dekrti darutart yang menyebabkan membatasi hak-hak individul dalam upaya menggulingkan partai komunis Jerman. Hasilnya Partai Nazi menjadi partai paling berkuasa di Jerman saat itu karena berhasil menggulingkan salah satu partai paling besar yaitu partai komunis. Meskipun sumber-sumber sejarah masih belum jelas tetapi bisa terlihat bahwa nazi-lah yang paling diuntungkan dari kejadian tersebut.

Jalannya Kudeta

Sejarah seperti berulang kembali, pada Jumat, 15 Juli 2016 pukul 15.30 waktu setempat. Saat itu terdapat laporan streaming di media sosial terkait operasi besar di Ankara dan Istanbul. Di Ankara, tank meluncur melalui jalanan kota. Pesawat terbang di atas kepala dan kendaraan militer dikelilingi tentara. Selain itu dua jembatan utama Istanbul, Bosphorus dan Fatih Sultan Mehmet, diblokir tentara. Tank bahkan meluncur ke Bandara Internasional Istanbul.

Perdana Menteri Turki Binali Yildirim mengungkapkan sejak Jumat sore waktu setempat, kendaraan dan pasukan militer menyerbu Ibu Kota Turki, Ankara dan Istanbul. Ia lalu pergi ke stasiun televisi untuk mengumumkan kabar tersebut. “Ini adalah upaya kudeta oleh beberapa anggota militer terhadap pemerintah saat ini Presiden Recep Tayyip Erdogan,” kata dia seperti dilansir Vox, Jumat, 15 Juli 2016.

2016-07-22-5B

Pukul 16.00 waktu setempat, Yildirim mengumumkan di stasiun televisi bahwa kejadian itu adalah upaya kudeta oleh kelompok militer dan pemberontak. Ia lalu bersumpah tidak akan membiarkan kudeta berhasil. Setengah jam kemudian, sebuah pernyataan yang bersumber dari Angkatan Bersenjata Turki mengklaim bahwa militer telah menguasai pemerintahan.

Dalam pernyataan itu, militer telah mengambil alih pemerintahan dari negara untuk mengembalikan tatanan konstitusional, hak asasi manusia, dan kebebasan. Pernyataan itu mengarah pada perlindungan demokrasi Turki. Saat itu, Presiden Erdogan sedang berlibur di lokasi yang jauh dari Ankara dan Istanbul.

Tapi klaim sepihak oleh faksi militer yang telah “berhasil” mengambil alih pemerintahan, hanya berlangsung dalam sekejap. Karena beberapa jam setelah itu, pemerintahan Erdogan dapat mengendalikan situasi dan mengamankan rezimnya.

Pada pukul 17.30 waktu setempat, Erdogan berpidato kepada rakyatnya melalui Skype. Ia menyalahkan kudeta pada anggota minoritas militer dan struktur paralelnya. Menurut kolumnis New York Times Mustafa Akyol, ungkapan terakhir Erdogan menyatakan bahwa pengkudeta merupakan gerakan Gulenist. Yaitu sebuah gerakan keagamaan dan politik yang berpengaruh yang ingin disejajarkan dengan Erdogan di bawah pimpinan ulama Islam, Fedhullah Gulen.

Erdogan lalu mendorong masyarakat turun ke jalan sebagai upaya protes. Mereka diarahkan menduduki bandara dan pusat keramaian publik. Di Ankara, demonstran mengikuti cara Erdogan yaitu turun ke jalan mendukung pemerintahan.

Pemimpin partai oposisi utama Turki mengutuk kudeta itu. Ia tidak mendukung para pemimpin kudeta dalam pembentukan politik. Ledakan pun terjadi di kompleks parlemen Turki di Ankara. Sementara di Istanbul, terjadi baku tembak.