Bagaimana Meredam Pedang Bermata Dua Media Sosial?

Semarang, Idola 92.6 FM – Di Indonesia, berdasarkan data tahun 2017, sebanyak 40 persen warganya memakai media sosial secara aktif tumbuh 34 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebagian besar di antaranya adalah remaja. Mereka rata-rata menghabiskan 3 jam 16 menit per hari untuk mengakses media sosial.

Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir sementara aplikasi Tik Tok Selasa 3 Juli lalu. Media sosial yang memungkinkan penggunanya membuat video pendek dengan kreatif itu dinilai tak ramah anak karena mengandung konten negatif seperti pornografi dan pelecehan agama.

Apa itu Tik Tok? Tik Tok menyebut dirinya sebagai komunitas video 15 detik yang kreatif. Cara kerjanya sederhana, pengguna tinggal merekam video selama 15 detik dan menghiasinya dengan berbagai musik, filter, atau efek-efek seperti telinga kelinci, gambar hati, atau menyundul bola.

Sebelumnya, sejumlah aplikasi pernah diblokir atau diancam diblokir pemerintah seperti Vimeo, Reddit, Netflix, Telegram, hingga WhatsApp. Beberapa aplikasi itu diblokir hingga kini. Selain konten berbau pornografi, aplikasi itu dimanfaatkan untuk penyebaran paham radikal.

Pemblokiran oleh pemerintah dilakukan karena ini sebagai cara untuk pengelola media sosial mengelola konten dan meminimalkan dampak buruk bagi anak. Namun, meski telah ada pemblokiran, konten negatif kerap muncul di media social. Bisa diibaratkan, media sosial merupakan pedang bermata dua. Ada banyak manfaat yang bisa diambil namun di sisi lain—jika tanpa pengawasan dan disalahgunakan maka akan menimbulkan mudharat.

Lantas, Bagaimana Meredam Pedang Bermata Dua Media Sosial? Efektifkah upaya pemblokiran akun-akun yang dinilai negatif oleh pemerintah? Upaya edukasi seperti apa pula yang mesti dilakukan agar anak-anak tak mudah terpapar dampak buruk media social?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Susanto (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)) dan Diana Setiyawati (Peneliti Pada Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta). [Heri CS]

Berikut diskusinya: