Cukup Signifikankah Penurunan Tarif Tol Menjadi Daya Ungkit Perekonomian terkait Biaya Logistik?

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah berencana menurunkan tarif 16 ruas jalan tol yang ada di Indonesia. Peraturan Presiden ( Perpres) akan dikeluarkan sebagai payung hukum kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut berawal dari keluhan sejumlah sopir pengangkut logistik, terutama yang beroperasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Menurut mereka, tarif tol di kedua pulau itu terlalu tinggi. Contohnya, ruas jalan tol yang dibangun dalam kurun waktu era 1980-an hingga 2000, tarifnya Rp 212 hingga Rp 416 per kilometer. Ruas tol yang dibangun dalam kurun waktu 2000 hingga 2010, tarifnya Rp 709 per kilometer. Sementara, ruas tol yang dibangun dalam kurun waktu tahun 2015 hingga saat ini, tarifnya Rp 750 hingga Rp 1.500 per kilometer.

Keluhan mengenai tingginya tarif ruas tol ini akhirnya sampai kepada Presiden Joko Widodo. Presiden kemudian memanggil sejumlah menteri terkait untuk mencarikan solusi. Salah satu metode untuk menurunkan tarif jalan tol, yakni dengan menambah masa konsesinya. Misalnya, pemerintah selesai membangun ruas tol. Jika biasanya pengelolaan jalan tol diserahkan ke swasta untuk jangka waktu (konsesi) 35 tahun, kini masa konsesinya ditambah menjadi 50 tahun. Dengan demikian, pengelola jalan tol tidak terlalu mematok harga tinggi sehingga masyarakat juga tidak terlalu terbebani.

Lantas, bagaimana menurut Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO)? Sejauh ini, apa saja yang sebenarnya dikeluhkan oleh teman-teman APTRINDO terkait dengan jasa logistic atau ekspedisi di Indonesia? Cukup signifikankah rencana kebijakan ini untuk menjadi daya ungkit perekonomian terkait biaya logistik? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Gemilang Tarigan (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO)). [Heri CS]

Berikut wawancaranya: