Dua Dekade Reformasi, Sudahkah Pembangunan Demokrasi Sesuai dengan Cita-cita Reformasi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Salah satu tonggak penting perjalanan bangsa dan negara mewujudkan peradaban berpolitik adalah reformasi politik tahun 1998. Peristiwa tersebut telah menjungkirbalikkan struktur kekuasaan yang tidak hanya memonopoli kekuasaan tetapi juga memonopoli kebenaran. Pilar-pilar kekuasaan Orde Baru seperti Golkar, birokrasi, militer, serta kroni-kroni Soeharto—secara dramatis tumbang.

Tujuan utama reformasi sejatinya adalah membentuk pemerintahan demokratis yang kuat, efektif serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Agenda urgensi dilakukan untuk mencegah dan mengantisipasi ancaman kembalinya kekuasaan yang militeristik atau anarki social.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo menilai, hasil reformasi 1998 masih jauh dari impian. Sebab, reformasi hanya berhasil menurunkan Presiden ke-2 Soeharto. Padahal, reformasi seharusnya bukan sekadar ganti presiden.

Menurutnya, hanya satu keberhasilan reformasi, yakni memisahkan Polri dan TNI. Tapi di sisi lain, TNI masih enggan melepaskan kekuasaan dan polisi menikmati euforia. Hermawan menuturkan, cita-cita kesejahteraan rakyat yang dilahirkan dari demokrasi setelah reformasi juga belum sepenuhnya terwujud. Itu terlihat dari masih menjamurnya perilaku koruptif di elite politik. Masalah itu, tak lepas dari fokus yang diambil Indonesia setelah reformasi. Indonesia lebih fokus pada masalah kebebasan dibandingkan kesejahteraan. Kebebasan lebih dipilih karena trauma atas ‘keganasan’ Orde Baru.

Lantas, merefleksi dua dekade reformasi, sudahkah pembangunan demokrasi sesuai dengan tujuan dan cita-cita Reformasi? Jika belum, apa faktor penghambatnya? Sudahkah pula reformasi membawa pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia? Apa pula faktor yang membuat pasca reformasi justru kita lebih banyak dipertontonkan perilaku koruptif kaum elit?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Prof Sisi Zuhro (Peneliti Politik dari LIPI) dan Hendri Satrio (Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina/pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI)). [Heri CS]

Berikut diskusinya: