Mengevaluasi Dua Dasawarsa Reformasi, Sudahkah Sesuai dengan Tujuan dan Cita-Cita Reformasi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Salah satu tonggak penting perjalanan bangsa dan Negara mewujudkan peradaban berpolitik adalah reformasi politik tahun 1998. Peristiwa tersebut telah menjungkirbalikkan struktur kekuasaan yang tidak hanya memonopoli kekuasaan tetapi juga memonopoli kebenaran. Pilar-pilar kekuasaan Orde Baru seperti Golkar, birokrasi, militer, serta kroni-kroni Soeharto, secara dramatis tumbang. Demikian dikemukakan Peneliti Senior CSIS, J Kristiadi, dalam Analisis Politik di sebuah harian nasional (22/3/2018).

Menurut J Kristiadi, tujuan utama reformasi adalah membentuk pemerintahan demokratis yang kuat, efektif serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Agenda urgensi dilakukan untuk mencegah dan mengantisipasi ancaman kembalinya kekuasaan yang militeristik atau anarki sosial. Idealnya, pembentukan partai politik didahului dengan menawarkan gagasan spesifik sebagai landasan dan cita-cita perjuangan.

Namun, karena terdesak waktu, hal itu tak mungkin dilakukan. Akibatnya, pilar demokrasi—partai politik hanya merupakan bangunan struktur tanpa roh. Di sisi lain -meminjam kritik Kiki Syahnakri- kita semakin sulit mencari sosok negarawan. Kita berada di fase krisis kader pemimpin nasional.

Lantas, mengevaluasi dua dasawarsa reformasi, sudahkah sesuai dengan tujuan dan cita-cita Reformasi? Jika belum, apa faktor penghambatnya? Bagaimana pula kita keluar dari situasi krisis kader pemimpin nasional yang mampu mewujudkan cita-cita reformasi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Letjen (Purn) Kiki Syahnakri (Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)) dan Gun Gun Heryanto (pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). [Heri CS]

Berikut diskusinya: