Memagari Generasi Muda Dari Ancaman Paham Radikal

โ€œBeri 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia.โ€

Demikian ungkapan terkenal yang disampaikan Proklamator Bung Karno dalam pidatonya. Ungkapan itu menunjukkan betapa besarnya potensi dan kekuatan anak muda. Itu juga berarti bahwa di tangan dan pemikiran anak muda, nasib bangsa kita ke depan ditentukan.

Kini, terbukti sejumlah anak muda mulai memegang posisi penting. Di bidang usaha rintisan berbasis teknologi (start up) misalnya, Indonesia saat ini memiliki sejumlah anak muda yang merajai bisnis berbasis aplikasi online seperti Nadiem Makarim (CEO dan pendiri Go Jek) ataupun Achmad Zaky (CEO Bukalapak). Belum lagi anak-anak muda kita yang memiliki prestasi gemilang di tingkat dunia namun belum terekspose publikasi media.

Namun, di tengah aksi, prestasi, dan kreasi anak-anak muda brilian tersebut kita dikhawatirkan dengan ancaman paham radikal yang mulai menyusup di kalangan anak muda. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, teroris justru berasal dari kalangan terdidik juga generasi muda yang didominasi oleh lulusan SMA dan universitas. Persentase teroris dari kalangan lulusan SD, SMP, atau drop out universitas sangat kecil. Kasus terbaru, aksi kekerasan yang terjadi di Gereja Santa Lidwina Sleman Yogyakarta Minggu lalu dilakukan oleh Suliono pemuda 22 tahun asal Banyuwangi yang masih berstatus sebagai mahasiswa.

Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius saat kuliah umum di ITB baru-baru ini mengatakan, sampai saat ini, kelompok radikal terus mengembangkan diri dengan memperluas jaringan. Indonesia yang akan mengalami puncak bonus demografi pada 2020 hingga 2030 rawan disusupi oleh paham-paham radikal jika hal ini tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik. Bonus demografi merupakan masa ketika Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk usia produktif secara signifikan atau populasi usia produktif yang jumlahnya lebih banyak dari populasi usia nonproduktif.

Menurut Suhardi Alius, bonus demografi harus disiapkan dengan baik oleh pemerintah, salah satunya pada penyerapan tenaga kerja atau ketersediaan lapangan pekerjaan. Sebab, mereka yang sulit memperoleh pekerjaan lalu menjadi frustasi dan kecewa, rawan diinfiltrasi oleh paham-paham radikal yang pada akhirnya mereka akan diajak bergabung dalam kelompok radikal.

Lantas, di tengah kita menyongsong puncak Bonus Demografi pada 2020-2030, bagaimana upaya kita memagari generasi muda dari paham radikal? Apa sesungguhnya akar masalah yang membuat generasi muda kita rentan terpapar paham radikal?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Halili (Peneliti Setara Institute/ Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY) dan Dr. Didin Wahidin (Direktur Kemahasiswaan Kemenristek DIKTI). [Heri CS]

Berikut Diskusinya:

Ikuti Kami di Google News