Menakar (Ancaman) Revisi UU MD3 Bagi Demokrasi Bangsa

Semarang, Idola 92.6 FM – DPR sebagai representasi rakyat memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPR menjadi salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. Baru-baru ini, wakil kita yang terhormat baru saja men-sahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau Undang-Undang MD3. Sejumlah pasal baru memicu polemik karena mengancam demokrasi.

Ketiga pasal itu, yakni: Pertama, tambahan Pasal 73 mengenai mekanisme pemanggilan paksa dengan bantuan polisi. Kedua, Pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kepada siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Ini berarti penghina anggota DPR rentan dikriminalisasi dan terjerat hukum tanpa diadukan. Ketiga, tambahan Pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamh Kehormatan Dewan (MKD).

Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, pengesahan revisi Undang-Undang (RUU) MD3 sebagai tanda buruknya kinerja DPR. Hal ini tercermin dari pasal-pasal kontroversial yang seolah melindungi anggota Dewan dari kritik dan jeratan hukum. Peneliti senior Formappi Lucius Karus mengatakan, DPR kali ini menjadi yang terburuk dengan hasil kerja minim yang ditorehkan.

Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM.

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim menilai, ada pasal kontroversial yang disahkan DPR dan bertentangan dengan konstitusi. Menurut Hifdzil hak imunitas DPR bertentangan dengan konstitusional terutama pada pasal Pasal 122 huruf k yang dianggap DPR antikritik. Padahal menurutnya masyarakat boleh mengajukan kritik kepada DPR sebagaimana kritik kepada pemerintah. Untuk itu pihaknya berencana akan melayangkan gugatan ke MK terkait UU tersebut.

Sebelumnya, UU MD3 disahkan Senin 12 Februari, meski diwarnai walk out dari dua fraksi yakni Partai NasDem dan PPP. Sementara itu, delapan fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Lantas, menakar ditetapkannya 3 pasal baru yang dinilai kontroversial dalam revisi UU MD3-Apa sesungguhnya yang terjadi dengan DPR? Apa implikasi dari aturan baru ini bagi proses demokrasi kita? Lalu, bagaimana pula kita sebagai civil society mengawalnya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Mahfud MD (pakar hukum, Ketua MK periode 2008-2013, Guru Besar FH UII Yogyakarta) dan Hifdzil Alim, peneliti PUKAT (Pusat Kajian Antikorupsi) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. [Heri CS]

Berikut Diskusinya: