Mencari Jalan Tengah Pembatalan Revisi UU MD3

Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR dinilai perlu bertemu untuk membatalkan pengesahan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 sesuai dengan desakan publik. Apabila hal ini dilakukan, citra DPR di mata publik diyakini bisa diperbaiki. Presiden hingga saat ini pun belum menandatangani revisi UU MD3. Di sisi lain, sejumlah pihak saat ini tengah mengajukan uji materi atau judicial review terhadap ketiga pasal tersebut. Sidang perdana rencananya akan digelar pada Kamis 8 Maret 2018.

Sebelumnya, revisi UU MD3 disetujui oleh DPR bersama pemerintah untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR 12 Februari lalu. Persetujuan diambil tanpa kesepakatan dari dua fraksi, Nasdem dan PPP.

Diketahui, sejumlah pasal dalam revisi UU MD3 ditolak publik karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Desakan penolakan terjadi di sejumlah daerah hingga saat ini. Pasal-pasal itu antara lain: Pasal 73 terkait dengan kewajiban polisi membantu DPR memanggil paksa pihak yang tidak memenuhi panggilan DPR, Pasal 122 yang mengatur penghinaan terhadap DPR, dan Pasal 245 soal pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus didahului pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Lantas, adakah jalan tengah pembatalan Revisi UU MD3 di tengah presiden yang enggan menandatanganinya? Diketahui, materi revisi ditolak publik karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan mengancam daulat rakyat—bisakah kita menarik daulat yang kita berikan kepada wakil rakyat?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Sudjito Atmoredjo (Guru Besar Ilmu Hukum UGM Yogyakarta) dan Feri Amsari (Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) / Pakar Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas Padang). [Heri CS]

Berikut diskusinya: