Djayadi Hanan: Pasal Penghinaan DPR Pada Revisi UUD MD3 Mendekati Abuse of Power

Semarang, Idola 92.6 FM – Pasal penghinaan pada DPR dalam revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) mencerminkan sebagian anggota DPR “gila” hormat karena merasa berkuasa. Upaya melalui regulasi ini mendekatkan DPR pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Demikian dikemukakan Pengajar Ilmu Politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan saat diwawancara Radio Idola Semarang, melalui telepon, Selasa (10/02/2018). “Saya memandang upaya DPR itu sudah mendekati abuse of power. Karena itu perlu diingatkan,” kata Djayadi dalam diskusi bertema “Menyoal Hubungan DPR dengan Rakyat”.

Menurut Djayadi yang juga Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, sesungguhnya kekuasaan DPR itu berasal dari rakyat. Maka, wajar jika rakyat mengontrol mereka. Ia ingin mengingatkan pada DPR bahwa kekuasaan mereka bukan datang dengan sendirinya. Kekuasaan mereka datang dari rakyat.

Djayadi Hanan, Pengajar Ilmu Politik Universitas Paramadina.

“Jadi, apapun yang mereka kerjakan, gaji itu kan berasal dari rakyat. Maka, wajar saja jika rakyat mengontrolnya. Bahkan, kalau rakyat bersuara keras pada mereka, itu tidak boleh dipandang sebagai musuh,” ujarnya.

Dia mengemukakan, secara filosofis, DPR wakilnya rakyat. Dalam bahasa orang bisnis, bos DPR adalah rakyat. “Masak suara bos dianggap untuk menghina mereka,” tuturnya.

Dalam konteks hubungan politik, ujar Djayadi, maka tugas DPR adalah terus menerus berkonsultasi dengan rakyat. Mendengar apa yang diingin dan menjadi keluhan mereka. Hubungan yang sifatnya politik. Bukan justru mengancam rakyat. “Pemberi kekuasaan malah diancam oleh mereka. Itu, kan sudah keterlaluan,” ujarnya.

Saat ini, menurutnya, DPR justru mengembangkan hubungan legalistik. DPR menggunakan instrumen hukum yang sifatnya prosedural dan legalistik untuk berhadapan dengan rakyat. Kalau menggunakan instrumen hukum seperti itu, ini akan menciptakan hubungan yang sifatnya antagonis atau permusuhan. Rakyat yang mengkritik dalam konteks ini bisa dianggap musuh.

“Rakyat malah dicurigai. Yang dikedepankan kepada rakyat bukan kecurigaan seharusnya. Tapi merasa dirinya adalah sebagai bagian dari rakyat. Kalau rakyat menderita, DPR juga menderita.”

Rakyat Bisa Gugat DPR

Menurut Djayadi, rakyat sebagai pemberi mandat, bisa menggugat DPR terkait aturan kontroversial dalam UU MD3. Yakni, melalui instrumen hukum dan politik. Melalui instrumen hukum bisa dilakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara, melalui instrument politik bisa melalui pemilu, demontrasi, petisi atau media.

Aspirasi politik juga bisa dilakukan melalui bersuara terus menerus melalui beragam media seperti media sosial, bahkan jika perlu datang berdemonstrasi ke DPR. “Yang paling fundamental melalui pemilu. Jadi, di Pemilu rakyat harus cerdas. Cerdas untuk memilih partai mana yang masih dekat dengan rakyat. Cerdas untuk melihat mana wakil rakyat yang masih gila hormat, yang seperti itu tak perlu dipilih lagi,” ujarnya.

Setelah, kita memilih orang-orang yang kita anggap cukup baik ke depan, baru kita bisa melakukan desakan untuk lakukan reformasi di tubuh DPR. “Saat ini, misalnya kita berharap reformasi di DPR, itu kayak menyapu lantai dengan sapu yang kotor. Bayangkan, apa yang terjadi? Akan tambah kotor,” tuturnya.

Sementara itu, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Dr Charles Simabura mengungkapkan, adanya pasal penghinaan DPR ini mencerminkan DPR sudah lari dari esensi sebagai wakil rakyat. Pasal penghinaan ini seolah membuat kita kembali ke era kolonial.

“Dulu, biasanya orang lebih cenderung, pasal ini digunakan untuk lindungi penguasa. Pasal ini tidak tepat dilekatkan pada parlemen kita,” katanya.

Dr Charles Simabura, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.

Charles mengemukakan, terkait hal ini, rakyat tak boleh diam. Langkah terakhir, rakyat bisa melakukan gugatan ke MK. Tapi MK saat ini sedang mengalami delegitimasi. “Saya khawatir nanti malah publik akan melakukan pemakaran social kalau ini terus dipertahankan.”

Ia meminta, publik bersama-sama menghukum partai yang mendukung pasal tersebut untuk tidak dipilih lagi pada Pemilu 2019. Secara hukum pasal ini bisa digugat ke MK. “Berharap, Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan pasal itu. Sepanjang MK independen. Tidak seperti yang kita khawatirkan terjebak transaksi dengan DPR,” tandasnya.

Sementara itu, dilansir dari detik.com, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaruh perhatian besar terhadap UU MD3 yang sudah disahkan oleh DPR, terutama pada pasal imunitas DPR. Yasonna mengatakan ada kemungkinan Jokowi tak akan menandatangani UU tersebut.

“Presiden cukup kaget juga (mengenai pasal imunitas dan pemanggilan paksa, red), makanya saya jelaskan. Masih menganalisis ini, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak menandatangani,” kata Yasonna setelah menemui Presiden Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/2/2018).

Dia juga menegaskan persoalan hak imunitas dalam UU MD3 tersebut seharusnya didasari aspek penghinaan terhadap parlemen (contempt of parliement), bukan didasari aspek yang tanpa batas. (her)