Menyoal Hubungan DPR Dengan Rakyat

Semarang, Idola 92.6 FM – DPR merupakan lembaga politik. Eksistensi DPR ada karena ada rakyat. Oleh karena itu, hubungan DPR dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik. Rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada DPR. Lembaga DPR melaksanakan kekuasaan itu.

Namun, justru kini, DPR justru membuat jarak atau memagari diri dengan rakyat melalui salah satu pasal di Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur perihal pasal penghinaan pada DPR akan dikenai sanksi hukum tanpa delik aduan. Dalam pasal Pasal 122 huruf K UU MD3 disebutkan DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Merujuk pada opini Djayadi Hanan Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina di Harian Kompas (19/2), kekuasaan memiliki kecenderungan untuk menyimpang, maka rakyat mengontrol DPR–baik secara individu maupun secara bersama-sama. Rakyat jugalah yang akan meminta pertanggungjawaban DPR untuk menentukan apakah akan diberi mandat kembali atau tidak untuk masa jabatan berikutnya.

Oleh karena itu, suara rakyat kepada DPR adalah suara pemberi kekuasaan kepada yang bertugas melaksanakan kekuasaan itu, bukan suara untuk menghinakan DPR. Hubungan DPR dengan rakyat adalah hubungan politik.

Namun, kini DPR menggunakan pendekatan legalistik. Rakyat yang bersuara– melalui UU MD3 dicurigai akan merendahkan kehormatan DPR. Dan, tak hanya itu, rakyat yang mengkritik diancam dipidanakan. Dalam posisi ini. Rakyat tidak lagi dilihat sebagai pemberi kekuasaan, tetapi dilihat sebagai musuh. Sayangnya pula, Presiden pun, lewat Kementerian Hukum dan HAM, mengamini perilaku DPR keterlaluan itu. Undang- undang itu bisa lahir karena persetujuan bersama DPR dan pemerintah.

Lantas, menyoal Revisi UU MD3 tentang pasal penghinaan pada DPR, bagaimana mestinya mengekspresikan hubungan DPR dengan Rakyatnya? Apa yang terjadi dengan DPR kita yang terhormat dimana mereka justru mengancam rakyat yang bersuara? Ke depan, mesti bagaimana memperbaiki kondisi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Djayadi Hanan (dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina) dan Dr Charles Simabura (peneliti pada Pusat Studi Konstitusi/ Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang). [Heri CS]

Berikut Diskusinya: