Mempertanyakan Sikap DPR yang Mengubah Aturan untuk Menghindari Pelanggaran

Gedung DPR
ilustrasi/medcom.id

Semarang, Idola 92.6 FM – “Aturan ada untuk dilanggar.”  Istilah ini seolah mengakar dan terpatri kuat di dalam budaya masyarakat. Tidak hanya menjadi istilah belaka, pada pelaksanaannya, orang Indonesia memang hobi melanggar aturan yang telah ditetapkan. Aturan-aturan begitu banyak dibuat. Namun, tak jarang, berbagai aturan itu kemudian dilanggar sendiri oleh si pembuat aturan.

Dan, hal itu juga kita lihat di gedung parlemen, baru-baru ini. DPR mengubah aturan demi menghindari pelanggaran dalam pembentukan Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (Pansus RUU IKN).

Badan Legislasi (Baleg) DPR mengubah ketentuan soal pembentukan Pansus yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR. Perubahan itu dilakukan sehari setelah pimpinan DPR secara resmi membentuk panitia khusus untuk membahas RUU IKN  yang naskahnya telah diserahkan pemerintah.

Sebelumnya, dalam rapat Paripurna DPR pada Selasa 7 Desember lalu  pimpinan DPR menetapkan anggota Pansus RUU IKN yang berjumlah 56 orang dengan pimpinan sebanyak 6 orang. Jumlah itu menerabas ketentuan yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1/2020 bahwa anggota Pansus mestinya TAK LEBIH DARI 30 orang dengan 4 pimpinan.

Tindakan DPR itu oleh sejumlah kalangan dinilai menunjukkan DPR tidak mengikuti asas bernegara yang baik.

Kita pun memahami, peraturan perundang-undangan bukanlah opini atau artikel akademis yang dibuat berdasarkan pendapat atau teori semata. Opini dan artikel tidak memiliki daya paksa atas orang lain untuk berbuat atau untuk tidak berbuat.

Sebaliknya, peraturan perundang-undangan merupakan dokumen hukum yang memiliki konsekuensi sanksi bagi pihak yang diatur. Peraturan perundang-undangan juga merupakan dokumen politik yang mengandung kepentingan dari berbagai pihak.

Lalu, bagaimana kalau DPR mengubah aturan yang dibuatnya demi untuk menghindari pelanggaran? Apa implikasinya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera); Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia); dan Mardani Ali Sera (Anggota DPR RI dari Fraksi PKS/ Ketua DPP PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaDinporapar Jateng Imbau Pengelola Obyek Wisata Tetap Patuh Aturan Selama Nataru
Artikel selanjutnyaMengenal Hartanto Wicaksono, Pendamping Ratusan Penderes Nira dari Kebumen