Menakar Parpol Dibiayai oleh Negara, Apa Plus-Minusnya?

(Ilustrasi: Bali Post)

Semarang, Idola 92.6 FM – KPK mengusulkan partai politik dibiayai pemerintah. Namun perlu dibuat sistem audit agar penggunaan dana yang berasal dari pemerintah itu bisa dipantau. Hal itu dikemukakan Ketua KPK Agus Rahardjo saat menyampaikan pidato dalam acara International Bussines Integrity Conference di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (4/12) lalu.

Menurut Agus, hal itu memungkinkan jika parpol itu dibiayai oleh pemerintah, kemudian ada sistem audit yang masuk. Dia mengatakan nantinya bisa ada sanksi jika parpol menyelewengkan dana dari pemerintah. Agus menyatakan pendanaan partai politik oleh pemerintah ditujukan untuk mewujudkan demokrasi yang bersih. Sebelumnya, beberapa partai politik Indonesia menandatangani pakta integritas di hadapan para pemimpin KPK. Pakta integritas itu berisi komitmen sistem integritas partai politik.

Penandatanganan pakta integritas itu dilakukan dalam acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), yang diselenggarakan di Hotel Bidakara, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Selasa (4/12). Pimpinan KPK, di antaranya Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif, terlihat mendampingi perwakilan parpol untuk menandatangani pakta integritas itu. Parpol-parpol yang hadir adalah PKB, Partai Gerindra, PDIP, Golkar, Hanura, PAN, PKPI, PSI, PPP, NasDem, Partai Garuda, Demokrat, Partai Berkarya, dan Partai Perindo.

Usulan agar parpol dibiayai pemerintah yang digulirkan KPK merupakan usul lama yang kembali disegarkan. Tujuannya, agar sebagai organisasi parpol mampu menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bersih. PAN mendukung usulan KPK agar partai politik dibiayai pemerintah. Sebab, menurut PAN, dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia, parpol memerlukan biaya yang sangat besar. Namun, PAN meminta kesetaraan.

Sementara, PDI Perjuangan mengisyaratkan tidak sependapat dengan usulan KPK tersebut. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno menilai, di era sistem politik yang terlanjur liberal, di mana terjadi pasar bebas perebutan suara untuk setiap kontestasi politik yang menyebabkan biaya politik menjadi sangat mahal. Ide tersebut menjadi kurang relevan.

Lantas, apa plus-minusnya? Relevankah wacana ini sebagai salah satu ikhtiar untuk mencegah Korupsi? Jika memang perlu, mekanismenya seperti apa? Jika memang ini relevan dan penting, bagaimana mendorong agar betul-betul terealisasi? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Prof. Dr. Syamsuddin Haris. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: