Menakar Plus-Minus Nota Kesepahaman Kemendagri dalam Upaya Memberantas Korupsi di Sektor Birokrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – Nota kesepahaman atau MoU antara Inspektorat Jenderal Kemendagri, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, dan Bareskrim Polri dalam penanganan laporan dugaan korupsi oleh birokrat dinilai berpotensi menjadi celah negosiasi dalam penegakan hukum.

Apa sebabnya? Keleluasaan birokrat mengembalikan uang kerugian Negara dalam jangka waktu 60 hari sejak laporan Badan Pemeriksa Keuangan dan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) diterima, membuat penegak hukum kehilangan peran krusialnya.

Polisi dan jaksa yang seharusnya bertugas menegakkan hukum untuk menyelamatkan uang negara berdasarkan laporan dari BPK atau APIP, menjadi tidak bisa menjalankan tugasnya. Sebelumnya, Inspektorat Jenderal Kemendagri membuat Nota Kesepahaman dengan Jampidsus Kejagung dan Bareskrim Polri pada Rabu lalu dalam menangani dugaan penyelewengan uang Negara. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, jika kerugian keuangan Negara telah dikembalikan hingga dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK, sebuah kasus dipertimbangkan untuk dihentikan penyelidikannya.

Adanya MoU ini sendiri, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan penangkapan pejabat daerah oleh KPK. Kasus-kasus itu, tidak hanya menjerat aparatur sipil Negara (ASN) tetapi juga kepala daerah.

Lantas, menakar MoU Kemendagri, apa plus minusnya dalam upaya memberantas korupsi di sektor birokrasi? Sudahkah ini menjadi langkah efektif untuk menangkal akar korupsi di aparatur sipil negara dan kepala daerah? Apa pula akar masalah yang membuat peran inspektorat seolah masih tumpul?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Mardyanto Wahyu Triatmoko (Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI) dan Lalola Easter Kaban (aktivis ICW (Indonesia Corruption Watch)). [Heri CS]

Berikut diskusinya: