Mencari Jalan Keluar agar UU ITE Tak Memberangus Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menimpa Baiq Makmum hanya contoh kecil tajamnya beberapa norma di UU tersebut. Sejak diundangkan pada tahun 2008, ada 245 pengaduan yang memanfaatkan UU ITE.

Merujuk pada Jawa Pos (18/11/2018), data tersebut merupakan hasil rekapitulasi SAFEnet hingga Juni 2018. Pengadu didominasi pemegang kekuasaan, pengusaha, hingga aparat Negara. Terlapornya beragam, mulai aktivis hingga anak bungsu Presiden Joko Widodo Kaesang Pangarep. Kasus terkini yang sedang menjadi perhatian public adalah kasus yang menimpa Baiq Nuril—mantan guru honorer SMAN 7 Mataram.

Dia dilaporkan oleh mantan Kepala Sekolahnya atas pencemaran nama baik dengan menggunakan UU ITE. Kasus itu bermula setelah rekaman pembicaraan tak senonoh Muslim beberapa tahun silam beredar. Nuril membantah dirinya menyebarkan rekaman itu. Awalnya Nuril hanya bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerjanya perihal ucapan Muslim di telepon yang ia rekam tersebut. Imam mendesak Nuril agar diperbolehkan menyalin rekaman. Setelah itu, rekaman tersebar ke pegawai di sekolah. Nuril pun dipecat Muslim. Sementara Muslim dimutasi dari SMAN 7.

Tak berhenti sampai di situ, Muslim juga melaporkan Nuril ke Polres Mataram atas dugaan melanggar Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Singkat cerita kasus ini kemudian bergulir ke pengadilan. Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah karena tidak terbukti mendistribusikan mentransmisikan atau membuat dapat rekaman tersebut diakses publik. Namun Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke MA. Namun, putusan kasasi MA beberapa waktu lalu memutuskan bahwa Nuril bersalah dan menjatuhkan vonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta. Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Ketua Paguyuban Korban UU ITE Mohammad Arsyad. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: