Mengurai Sengkarut Melimpahnya Jumlah Calon Guru

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam tiga tahun terakhir, jumlah lulusan sarjana pendidikan berjumlah sekitar 260 ribu orang. Tetapi yang terserap untuk program pendidikan profesi guru hanya sekitar 27 ribu orang. Membaiknya tingkat kesejahteraan guru dengan sejumlah tunjangan memicu minat para lulusan SMA, sederajat menempuh program studi studi ilmu keguruan dan pendidikan. Hal itu mendongkrak jumlah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) atau lembaga pendidikan calon guru tanpa diikuti dengan pengendalian mutu.

Merujuk pada harian Kompas (12/03/2018), mutu LPTK yang dangkal berdampak bagi masa depan lulusannya. Di sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pangeran Dharma Kusuma Indramayu Jawa Barat, misalnya karier lulusannya terancam mentok pada status guru honorer saja.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjadi titik awal menjamurnya LPTK, diikuti melubernya sarjana pendidikan. UU tersebut menjanjikan kesejahteraan pada guru berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Guru yang bersertifikat pendidikan dapat meraih penghasilan tiga kali lipat daripada PNS lainnya.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Kemenristek Dikti, sebelum UU itu berjalan, jumlah LPTK hanya sekitar 90 institusi. Setelah tahun 2005, jumlahnya terus bertambah hingga menjadi 374 pada 2012. Tahun 2014 menjadi 381. Kemudian, tahun 2016 menjadi 421 LPTK. LPTK itu sebagian dalam bentuk universitas atau dulu dikenal dengan IKIP.

Lantas, mengurai sengkarut melimpahnya jumlah calon guru, seberapa mendesak pemetaan atau pembatasan LPTK dilakukan? Kriteria dasar seperti apa yang mesti dipenuhi dalam pemberian izin LPTK? Syarat kualifikasi apa saja yang mesti dipenuhi seorang calon guru untuk memenuhi standar mutu?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Dr Syawal Gultom (Ketua Asosiasi Rektor Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)) dan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr Fathur Rokhman. [Heri CS]

Berikut diskusinya: