Menjaga Marwah Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)

Semarang, Idola 92.6 FM – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran kode etik atas pertemuannya dengan sejumlah anggota Komisi III DPR RI di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Pusat. Atas tindakannya itu, Dewan Etik MA menjatuhi sanksi ringan pada Arief.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, meski demikian, Arief tidak terbukti melakukan lobi-lobi politik baik terkait pencalonannya sebagai hakim atau apapun. Menurut dia, yang bersangkutan hanya bertemu dengan para pimpinan Komisi III DPR RI. Arief melakukan pertemuan tanpa adanya undangan resmi atau surat. Hal inilah yang dianggap melanggar kode etik ringan. Ini merupakan sanksi etik kedua bagi Arief. Sebelumnya, ia dikenakan sanksi etik serupa karena memberikan katabelece ke pejabat Kejaksaan Agung. Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan Ketua MK Arief Hidayat yang diberi sanksi ringan karena menemui anggota DPR secara tak resmi. ICW menyarankan, sebaiknya Arief langsung disanksi berat.

Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan, semestinya Dewan Etik MK memberikan sanksi berat kepada Arief. Sebab, sebelum ini, Arief pernah mendapat sanksi terkait katabelece ke pejabat Kejagung. Menurut ICW, standar etik yang dimiliki hakim konstitusi sangat tinggi. Terlebih, pelanggaran yang dilakukan Arief bisa merusak marwah MK. Pelanggaran berulang seperti yang dilakukan Arief seharusnya tidak bisa ditoleransi.

Lantas, patutkah apa yang dilakukan Ketua MK Arief Hidayat? Sudah cukupkah sanksi ringan dari Dewan Etik MA? Seorang hakim apalagi hakim MK sejatinya adalah wakil tuhan, “penjaga terakhir keadilan”. Mestinya hakim memiliki standar etik yang tinggi. Tapi, kenapa hal ini bisa terjadi. Apa akar persoalannya? Bagaimana menjaga marwah MK? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM mewawancara Pengamat Hukum Tata Negara dan Praktisi Hukum Konstitusi, Refly Harun. (Heri CS)

Berikut Wawancaranya: