Bagaimana Kita Terhindar Dari Dadu Politik Pilkada

Semarang, Idola 92.6 FM – Demokrasi sejatinya menempatkan rakyat sebagai aktor utama dalam mewujudkan cita-cita kehidupan yang berkeadilan dan berkemakmuran. Dalam mewujudkan tujuan mulia itu, rakyat memberikan mandat pada pemimpin atas hak kekuasaan yang berdaulat.

Namun, di pihak lain, dalam proses konsolidasi demokrasi—baik melalui pemilu atau pilkada, kita selalu dibayangi dengan munculnya para kepala daerah yang membawa penumpang gelap. Penumpang gelap itu bisa berupa kekuasaan itu sendiri, kepentingan pribadi, hingga hendak menguasai akses demi kepentingan nafsu kekuasaan belaka. Pada praktiknya, rakyat hanya dijadikan sebagai komoditas pendulang suara bukan pemberi amanat kepada si pemenang kontestasi.

Di sisi lain, kompetisi politik seharusnya disertai spirit sportivitas tinggi. Namun, Pilkada 2018 justru dibayangi Pilkada DKI 2017 yang sarat dengan politisasi SARA dan politik identitas. Parahnya lagi, beberapa kalangan justru secara terbuka menyatakan agar skema pemenangan Pilkada DKI di-copy paste dalam Pilkada 2018 terutama di wilayah yang jumlah pemilihnya signifikan.

Menurut pengamat politik J Kristiadi yang juga peneliti senior CSIS, kita mesti mencegah pembiaran kompetisi politik dengan mempergunakan jurus kalap politik identitas dan politik uang karena pertaruhannya adalah eksistensi bangsa dan negara. Kita tak ingin, bangsa menjadi dadu politik bagi peternak kekuasaan untuk berjudi membangun imperiun kekuasaan. Bangsa bukan kubus kecil yang seenaknya dijadikan permainan pemuas nafsu serakah.

Lantas, bagaimana agar kita terhindar dari dadu politik pilkada? Edukasi seperti apa yang mesti ditanamkan kepada rakyat sebagai pemilik daulat kekuasaan? Bagaimana mengkapitalisasi berbagai intrik politik untuk penyempurnaan penyelenggaraan pilkada?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan Prof Masdar Hilmy (Guru Besar dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: