Bagaimana Menghaluskan Rasa dan Mengasah Kepekaan melalui Pendidikan Sastra di Tengah Berbagai Problem Bangsa?

Semarang, Idola 92.6 FM – Belum lagi kering air mata duka akibat gempa tsunami di Selat Sunda yang memakan ratusan korban jiwa beberapa waktu lalu kita kembali dirundung musibah tanah longsor di Sukabumi yang juga menimbulkan belasan korban jiwa. Kita sungguh sangat berduka.

Namun, di tengah duka para korban itu, kita seolah ditimpuki kembali duka. Apa sebab? Di tengah duka para korban untuk kesekian kalinya, beredar pula—terutama di Media Sosial—pesan berantai yang menafsirkan dan cenderung menghakimi bahwa tsunami tersebut sebagai azab dan bentuk kemarahan Tuhan terhadap para korban.

Alih-alih menunjukkan rasa empati, pesan itu seolah mensyukuri turunnya siksa bagi para pendosa. Menurut Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Oman Fathurrahman, kejadian yang terus berulang ini bukan persoalan sederhana karena menggambarkan puncak gunung es cara beragama kita yang mongering. Salah satu akar masalahnya kembali lagi pada belum selesainya pemahaman tentang relasi agama dan budaya. Bangsa ini perlu mengolah rasa.

Kita pun juga bertanya-tanya—benarkah bangsa kita saat ini mengalami defisit rasa empati ? Bagaimana menghaluskan rasa dan mengasah kepekaan melalui pendidikan sastra di tengah berbagai problem bangsa? Peran apa yang bisa diambil oleh civil society dalam upaya mengasah kepekaan rasa pada sesama warga bangsa?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Staf Ahli Menteri Agama RI Prof Oman Fathurahman dan Pengamat Pendidikan Dari Unika Soegijapranata Semarang Tukiman Taruno. (Heri CS)

Berikut diskusinya: