Bagaimana Meningkatkan Indeks Penegakan Hukum yang Stagnan?

Semarang, Idola 92.6 FM – Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 126 negara dalam Indeks Penegakan Hukum 2019. Kendati peringkat Indonesia sedikit naik, nilai yang dicapai stagnan dalam 5 tahun terakhir. Sebelumnya, Indeks tahun 2017-2018 Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara.

Indeks Penegakan Hukum atau Rule of Law Index 2019 dirilis World Justice Project (WJP) di pengujung Februari 2019 lalu di Washington DC Amerika Serikat. Sejak 2014 hingga 2019, skor Indonesia tidak beranjak dari angka 0,52. Dalam skala 0-1 makin besar nilai indeks makin baik penegakan hukumnya.

WJP menakar kondisi supremasi hukum Negara-negara berdasarkan 8 faktor seperti: pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional, keterbukaan pemerintah, ketertiban dan keamanan, penegakan undang-undang, keadilan sipil, sistem peradilan pidana dan ketiadaan korupsi di pemerintahan.

Direktur Eksekutif WJP Elizabeth Andersen menyampaikan, penurunan di banyak negara terjadi pada faktor pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional. Hal ini mengindikasikan penguatan otoritarianisme. Sebanyak 61 negara menurun capaiannya pada faktor itu, 23 negara stagnan dan 29 negara lain membaik.

Stagnasi kondisi penegakan hukum di Indonesia patut menjadi peringatan bagi elite pemimpin Negara dan lembaga penegak hukum. Sebab, aspek penegakan hukum ini juga akan berpengaruh pada besar-kecilnya kepercayaan investor pada Indonesia. Aspek hukum tak bisa diabaikan sebab baik-tidaknya penegakan hukum juga akan berpengaruh pada perekonomian sebuah Negara. Masyarakat adil dan makmur pintunya juga ada di tegaknya hukum.

Lantas, upaya perbaikan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan Indeks Penegakan Hukum kita—sebab ini juga akan berkorelasi dengan perekonomian kita? Apa sesungguhnya tantangan dan hambatan terbesar yang membuat penegakan hukum stagnan? Terobosan seperti apa yang mestinya dilakukan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Bivitri Susanti (Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera) dan Astriyani (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan/LeIP). (Heri CS)

Berikut diskusinya: