Menakar Kedudukan Hukum dan Kebenaran, Bisakah Kebenaran Divoting?

Semarang, Idola 92.6 FM – Putusan Hakim Mahkamah Agung (MA) tengah menjadi sorotan. Setelah sebelumnya MA menolak permohonan peninjauan kembali (PK) kasus Baiq Nuril—terpidana kasus pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE, kini putusan MA kembali memicu polemik yakni putusan MA yang menerima permohonan kasasi mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Negara (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Prof Hibnu Nugroho, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Terlepas dari kasus itu, dalam konteks demokrasi, banyak case vonis yang merepresentasikan suara terbanyak atau voting. Tetapi pendekatan itu bermasalah ketika bersinggungan dengan kebenaran atau keadilan. Berkaca pada kasus putusan kasasi MA pada kasus Syafruddin Arsyad misalnya kita kemudian bertanya-tanya. Ketika terjadi dissenting opinion di antara para hakim, bagaimana hubungan atau kedudukan dissenting opinion di satu pihak dan kebenaran di pihak lain—mengingat bukankah kebenaran tak bisa divoting? Atau mungkinkah kebenaran itu divoting?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. (Heri CS)

Berikut diskusinya: