Ketika Barisan Oposisi mulai Melebur Menjadi Koalisi, Apa Dampak Buruk bagi Demokrasi dan Bagaimana Menyikapinya?

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, peran oposisi sangat penting. Bukan untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi melalukan fungsi kontrol terhadap kebijakan. Namun, kini kita melihat situasi sebaliknya. Kita seolah memasuki fase “Musim Gugur Oposisi”.

Tiga lembaga negara yang fungsinya mengawasi jalannya pemerintahan dipimpin oleh pendukung presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Di luar itu, ada potensi partai politik yang selama ini menjadi oposisi ikut bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Amin. Imbasnya, sistem pengawasan dan keseimbangan yang penting dalam demokrasi dikhawatirkan melemah.

Keterpilihan politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR menjadi titik kulminasi penguasaan seluruh lembaga legislatif oleh pendukung Jokowi-Amin. Sebelumnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), kursi ketua DPR diserahkan ke partai pemenang Pemilu 2019, yaitu PDI-P. Kursi kemudian diisi oleh Ketua DPP PDI-P yang juga putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani.

Tak sampai di situ, ”tetangga” DPR, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), memilih La Nyalla Mattalitti, anggota DPD dari Jawa Timur. Seperti diketahui, PDI-P merupakan partai politik utama pendukung Jokowi-Amin di Pilpres 2019. Golkar juga masuk dalam jajaran koalisi Jokowi-Amin. Begitu pula La Nyalla yang ikut memenangkan Jokowi-Amin.

Penguasaan lembaga-lembaga legislatif itu seperti mengulang yang terjadi pada periode pertama pemerintahan Jokowi– sekalipun di masa awal pemerintahan, ketua DPR dan MPR dikuasai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) atau bagian dari Koalisi Merah Putih, yang merupakan rival Jokowi di Pilpres 2014.

Lantas, ketika Oposisi bergabung ke pemerintah, lalu siapa yang melakukan fungsi kontrol? Mengingat, DPR yang mestinya berperan sebagai pengawas, tak lebih dari kepanjangan tangan partai? Lalu, sebenarnya seberapa penting peran oposisi dalam demokrasi Indonesia?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wawan Sobari Ph.D (Dosen ilmu Politik dan Kebijakan Publik Universitas Brawijaya Malang/ Pegiat Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia) dan Abdul Fikri Faqih (Anggota DPR RI Fraksi PKS). (Heri CS)

Berikut diskusinya: