Menakar Polemik Hukuman Kebiri Kimiawi Bagi Predator Anak

Semarang, Idola 92.6 FM – Rencana pemberlakuan hukuman kebiri kimiawi terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak menuai kontroversi. Sebagian pihak mendukung sedangkan kalangan lain menolak. Beberapa pihak yang mendukung hukuman tersebut, yakni Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise.

Sementara, beberapa pihak yang menolak antara lain, Komnas HAM dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menkes mendukung hukuman kebiri kimiawi karena telah ditetapkan oleh UU No 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Dia meminta semua pihak menghormati keputusan Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman tersebut kepada Muhammad Aris – terpidana kejahatan seksual terhadap 9 anak. PN Mojokerto menjatuhkan tambahan hukuman kebiri terhadap Aris selain menetapkan hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Ini merupakan vonis pertama di Indonesia.

Sementara, Komnas HAM mengecam hukuman kebiri karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Ia mengecam kejahatan seksual, namun bukan berarti penegak hukum harus melakukan tindakan yang merendahkan martabat manusia itu sendiri.

Lantas, menakar polemik hukuman kebiri kimiawi bagi predator anak—apa plus-minusnya? Sudah sedemikian mendesakkah? Bagi yang kontra menilai hal itu menyalahi HAM namun di sisi lain, kejahatan seksual pada anak bukankah juga menciderai HAM dan menjadi ancaman bagi anak-anak di masyarakat. Menjawab polemik ini, Radio Idola Semarang mewawancara Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: