Menelaah Relasi Antara Hak Warga Negara dalam Berpolitik dan Lingkaran Politik Dinasti

Dinasti Politik

Semarang, Idola 92.6 FM – Berpolitik menjadi salah satu hak warga negara yang dijamin konstitusi. Warga memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam penyelenggaran hajatan demokrasi seperti Pemilu maupun Pemilhan Umum Kepala Daerah.

Namun, ini memunculkan sejumlah pertanyaan manakala yang akan maju tersebut memiliki kedekatan dan kekerabatan atau bahkan bagian dari keluarga si pemimpin ataupun penguasa. Di satu pihak, memang setiap warga memiliki hak dalam berpolitik. Tapi di sisi lain memunculkan, apriori yang menduga, terbangunnya politik dinasti. Pertanyaan itu misalnya, apakah ketika seorang pejabat, dalam hal ini presiden, anaknya serta merta, harus kehilangan hak utk memilih dan dipilih–dalam hal ini untuk mencalonkan diri dalam Pilkada? Atau, atas nama hak kemudian memunculkan politik dinasti karena mensyiratkan ada pemanfaatkan relasi kekuasaan? Bagaimana menelaah hal ini?

Dinasti Politik
Dinasti Politik.

Sebelumnya, setelah menantunya, Bobby Nasution maju dalam bursa Pilkada Kota Medan, baru-baru ini, putra sulung Presiden Joko Widodo—Gibra Rakabuming Raka resmi mencalonkan diri dalam Pilkada Kota Solo 2020. Gibran mendaftarkan diri melalui DPD PDI Perjuangan Provinsi Jawa Tengah.

Lantas, patutkan putra presiden, mencalonkan diri, maju di pilkada di saat ayahnya sedang berkuasa? Karena kita tak bisa naïf mengatakan bahwa itu tak ada pengaruhnya—sebab pasti ada pengaruhnya. Namun, di pihak lain lain, kita memahami, apakah kemudian putra presiden harus kehilangan haknya untuk maju dalam kontestasi pilkada. Nah, terkait ini, kita ingin melihat proporsional—bagaimana sebaiknya.

Mendiskuskusikan ini Radio Idola Semarang mewawancara Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina Jakarta Hendri Satrio. (Heri CS)

Berikut diskusinya: