Mengurai Benang Kusut Korupsi dan Politik Dinasti, Bagaimana Jalan Keluarnya?

Politik Dinasti
ilustrasi/herdi.web.id

Semarang, Idola 92.6 FM – “Korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium empat”. Begitu mungkin tamsil untuk menggambarkan kondisi korupsi di Tanah Air.

Penggarongan uang rakyat terus terjadi di negeri ini. Siapa orangnya seolah hanya menunggu giliran.

Terkini, KPK menangkap Bupati Musi Banyuasin Sumatera Selatan-Dodi Reza Alex Noerdin. Ia diduga menerima suap pengadaan proyek infrastruktur.

Yang membuat miris, sebelumnya, pada pertengahan September lalu, Alex Noerdin ayah Dodi Reza juga ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung. Alex Noerdin ditangkap dan ditahan atas tuduhan korupsi pembelian gas bumi.

Korupsi dan Politik Dinasti
ilustrasi/istimewa

Perilaku koruptif tak malu-malu lagi dilakukan keluarga. Suami-istri, hingga relasi ayah dan anak. Sebelumnya, di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur Puput Tantriana Sari, bupati saat itu dan suaminya, Hasan Aminuddin, mantan bupati juga ditangkap KPK karena jual beli jabatan lurah dan camat.

Penangkapan ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat korupsi. Dan, semakin memperparah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita. IPK tahun 2021 posisi Indonesia berada pada peringkat ke-102 dari 180 negara. Posisi Indonesia setara dengan Gambia di Afrika.

Lantas, apa sebenarnya akar munculnya politik dinasti; apakah karena dipicu oleh politik berbiaya tinggi? Atau karena parpol kita yang masih feodal dan transaksional? Atau keduanya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Gun Gun Heryanto (Direktur Eksekutif The Political Literacy/ Pakar Komunikasi Politik Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); Prof Firman Noor (Plt. Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia); dan Dr Agus Riewanto (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: