Merefleksi Hari Kartini: Mencari Relevansi Pikiran Kartini di Era saat ini?

Semarang, Idola 92.6 FM – Peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, kerapkali terdistorsi pemahaman yang kurang komprehensif. Sebagian orang menilai bahwa perjuangan Raden Ajeng Kartini hanya sebatas pada emansipasi kaum wanita atau persamaan gender semata. Padahal, sesungguhnya lebih luas dari itu. Perjuangannya lebih dari itu. Emansipasi serta persamaan gender hanya salah satu di antaranya.

Perjuangan Kartini yang cukup fenomenal itu setidaknya ada 3 hal: Pertama, Kartini memperjuangkan kesetaraan akses atas hak pendidikan bagi kaum perempuan. Sebab, perempuan merupakan guru utama dan pertama bagi anak-anak bangsa. Seorang perempuan sejatinya adalah ibu bagi kehidupan. Usaha pendidikan perempuan yang dipelopori dan dikembangkan Kartini, secara esensial, membantu kaum perempuan mengambil keputusannya sendiri dan menentukan langsung derajat kebebasannya.

Kedua, keistimewaan Kartini bukan karena dia seorang anak bupati Jepara tetapi karena pemikirannya dan gagasannya mendahului zamannya. Bahkan, sampai saat ini—atau 140 tahun setelah kelahirannya—apa yang diperjuangkan wanita Jawa untuk kesetaraan kedudukan perempuan di dalam keluarga dan masyarakatkan tetap relevan.

Ketiga, gagasan Kartini tentang sebuah bangsa. Ketika gagasan tentang Indonesia belum lahir, Kartini telah memikirkan konsep tentang bangsa. Sejarawan di Deakin University, Australia Joos Cote dalam artikelnya “Raden Ajeng Kartini and Cultural Nationalism in Jawa” menyebutkan, Kartini telah memiliki kesadaran nasionalisme meskipun saat itu dalam konteks Jawa. Kartini dalam surat-suratnya bahkan mempertanyakan kolonialisme Belanda dan dampaknya bagi Indonesia. (Kompas, 22/04/2019)

Lantas, di tengah perubahan cepat, merefleksi pikiran-pikiran Kartini–apa relevansi makna pikiran-pikiran Kartini yang bisa kita petik untuk diterapkan saat ini? Belajar dari Kartini yang berpikir dan bertindak melampaui zamannya, hal apa pula yang bisa dilakukan perempuan dalam merawat persatuan bangsa? Bagaimana pula menumbuhkan spirit Kartini di tengah persoalan bangsa?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Tri Mumpuni (CEO Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan); Prof Tri Marhaeni (Dosen Jurusan Antropologi dan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes); dan Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono (Ahli Antropologi/ pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu). (Heri CS)

Berikut diskusinya: