Merefleksi Kasus Penembakan di Selandia Baru, Bagaimana Menumbuhkan dan Menguatkan Toleransi dan Perlindungan pada Minoritas?

Semarang, Idola92.6 FM – Duka mendalam dirasakan warga Christchurch Selandia Baru dan keluarga dari 50 korban meninggal dan puluhan korban luka-luka akibat aksi penembakan di Masjid Al Noor dan Linwood Jumat pekan lalu. Kesedihan sekaligus kemarahan juga dirasakan seluruh umat beragama yang melihat aksi teror dilakukan di tempat suci umat Islam dan kepada warga sipil yang sedang beribadah.

Dekan Fisipol Universitas Kristen Indonesia Jakarta Angel Damayanti mengemukakan, fenomena yang terjadi di Selandia Baru kembali merusak apa yang telah dan tengah dibangun oleh umat beragama di seluruh dunia dan di Indonesia, yaitu persaudaraan yang mengatasi segala perbedaan bangsa, budaya, ide dan agama. Hal itu seperti yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam pesan Natal tahun 2018 lalu.

Peristiwa penembakan ini merupakan perlawanan terhadap upaya bersama untuk membangun harmonis khususnya antara negara Barat dan negara penduduk mayoritas Muslim. Mengikuti pemberitaan, apa yang dilakukan oleh Tarrant member kesan kuat bahwa aksi terornya didorong oleh motif rasis– mengagungkan identitasnya sebagai warga kulit putih dan telah direncanakan sebelumnya.

Di sisi lain, peristiwa ini bagi kita sesungguhnya menjadi refleksi akan ancaman tirani mayoritas pada minoritas di mana pun berada. Persoalan ini, menjadi agenda besar konsolidasi demokrasi selain HAM dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Tragedi berdarah di Selandia Baru memberi pelajaran berharga bagi kita Bahwa begitu berbahaya-nya rasisme, ideologi ultra nasionalis hingga tirani mayoritas atas minoritas. Sebab, jika ini tak bisa diatasi bersama-sama bisa jadi, saat ini yang menjadi korban adalah kelompok A, besok kelompok B, dan di kemudian hari kembali ke kelompok A.

Kita tentu saja tak ingin ini terjadi di negara kita dan di negara manapun. Namun, kita pun bertanya-tanya, jangan-jangan praktik-praktik semacam itu juga terjadi di sini namun dalam bentuk yang lain.

Lantas, merefleksi kasus penembakan di Selandia Baru bagaimana menumbuhkan dan menguatkan toleransi dan perlindungan pada minoritas? Apa yang mesti dilakukan? Dalam pendidikan—perlukah ini masuk dalam ranah pendidikan formal?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr. Mukhsin Jamil (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang) dan Halili (Peneliti Setara Institute/ Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta). (Heri CS)

berikut diskusinya: