Pola Pikir Kritis sebagai Konsekuensi Logis dari Demokrasi Masih Belum Diberi Ruang, Apa yang Perlu Dilakukan?

Problem Analyse Solution

Semarang, Idola 92.6 FM – Memajukan potensi Sumber Daya Manusian (SDM) menjadi arah pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, di sisi lain—sejumlah kalangan budayawan dan pemikir sosial menilai, ruang mental masyarakat seolah makin menyempit. Akibatnya, gagasan-gagasan yang seharusnya berkembang menjadi pemikiran yang maju dan terdepan dihentikan. Hal itu misalnya, bisa dilihat dengan masih adanya pembubaran diskusi buku di kampus atau sebuah forum.

Contoh lain adalah upaya deradikalisasi yang selama ini dilakukan pemerintah. Pemikiran radikal yang dalam arti sebenarnya berarti pemikiran yang mendasar ataupun pemikiran yang maju, kini justru dimaknai sebagai ancaman yang perlu ditangkal. Padahal, paradigma yang salah tersebut dapat menghambat terjadinya diskusi yang mengedepankan akal sehat dan pola pikir kritis di masyarakat terutama di institusi pendidikan.

Menumbuhkan Pola Pikir Kritis Masyarakat itu, lawan dari pola pikir dukung mendukung junjungan alias Kultus. Cara dukung mendukung membuat masyarakat “mabok” dan membenarkan apapun yg dilakukan junjungannya. Sementara pola pikir kritis itu, justru bermodal skeptisme.

Lantas, manakala pola pikir kritis sebagai konsekuensi logis dari demokrasi, dipandang masih belum diberi ruang, lalu, apa yang perlu dilakukan? Bagaimana pula menumbuhkan pola pikir kritis di masyarakat?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Radhar Panca Dahana (Budayawan/ Pendiri dan Koordinator Mufakat Budaya Indonesia) dan Halili (Direktur Riset Setara Institute/ Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY). (Heri CS)

Berikut diskusinya: