Berkaca Dari Kasus Keraton Agung Sejagat, Kenapa Masyarakat Kita Mudah Teperdaya?

Keraton Agung Sejagat
(Ilustrasi: mojok.co)

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa hari terakhir, muncul viral seputar Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Keraton itu ramai di media sosial karena pimpinannya Totok Santosa yang bergelar Rakai Mataram Agung Jaya Kusuma Wangsa Sanjaya, beserta ratusan pengikutnya mengadakan acara wilujengan dan kirab budaya pada Jumat 10 Januari hingga Minggu 12 Januari 2020.

Pimpinan keraton menegaskan, keraton agung sejagat merupakan kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhirnya perjanjian 500 tahun lalu, terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu Imperium Majapahit pada 1518 sampai 2018.

Kabar terkini, raja dan tau ditangkap oleh Polda Jateng karena ada unsur pidana umum yakni penipuan dalam kasus ini. Kapolda Jateng Irjen Polisi Rycko Amelza Dahniel mengatakan ada unsur penipuan dalam kasus Keraton Sejagat. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dana yang dikumpulkan warga agar jadi pengikut berkisar antara Rp3 juta hingga 30 juta rupiah. Mereka dijanjikan gaji per bulan dengan mata uang dollar.

Irjen Pol Rycko Amelza
Kapolda Jateng Irjen Pol Rycko Amelza (dua dari kiri) saat gelar perkara penipuan berkedok Kerajaan Agung Sejagad di Mapolda, Rabu (15/1).

Fenomena semacam ini sesungguhnya bukan kali pertama. Ini mengingatkan kita pada sejumlah kasus serupa. Di antaranya kehebohan Kerajaan Tuhan yang didirikan Lia Aminudin (2005), Satria Piningit Weteng Buwono dengan tokoh Agus Umam Solichin yang mengaku sebagai titisan Soekarno dan Imam Mahdi (2009), Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang diinisiasi Ahmad Moshadeq alias Abdusalam (2016), dan Kerajaan Ubur-Ubur di Banten (2018).

Sejak reformasi, kemunculan orang yang mengaku sebagai raja atau ratu abal-abal tak terhitung jumlahnya. Kemunculan raja abal-abal merupakan fenomena sebagian masyarakat yang berusaha mencari keuntungan di balik popularitas mereka. Masyarakat begitu mudah dikelabuhi dengan symbol-simbol yang mengaburkan kebenaran. Raja abal-abal memanfaatkan tingginya harapan masyarakat terhadap kehadiran sang ratu adil atau satrio piningit, yang diharapkan bisa menjadi solusi atas permasalahan sosial dan ekonomi. Terlepas dari itu, sungguh naïf jika menimpakan kesalahan kasus tersebut ke masyarakat. Sebab, para pengikut raja abal-abal merupakan korban atas rendahnya literasi mereka terhadap sejarah.

Lantas, mudahnya masyarakat teperdaya, ini menunjukkan fenomena apa? Menyikapi ini—bagaimana mestinya kehadiran negara agar tak terjadi di kemudian hari? Guna mendiskusikan ini, Radio Idola Semarang mewawancara Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta Dr. Saifur Rohman. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: