Bagaimana Mendudukan Kesetaraan Kritik Antara Pejabat dan Publik?

Moeldoko vs ICW
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Aspirasi publik hingga kritik di dalam negara demokrasi merupakan keniscayaan. Negara demokratis membutuhkan aspirasi publik termasuk kritik—sebagai bahan bakunya. Karena dengan aspirasi dan kritik akan hadir check and balances di antara negara dan warga bangsanya.

Namun, dalam praktiknya kita melihat, hal itu kerapkali diuji—termasuk di Indonesia yang menganut demokrasi. Meski dijunjung tinggi namun praktik-prakti demokrasi belum tumbuh subur di antara negara dan warga termasuk di dalamnya, civil society. Dalam beberapa waktu terakhir, kita justru melihat kritik sebagai bagian partisipasi publik atau kebebasan berpendapat– justru dijadikan alat untuk memolisikan pihak yang mengkritik.

Dan, baru-baru ini, publik melihat, Kepala Staf Presiden Moeldoko resmi melaporkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Bareskrim Polri. Dua peneliti ICW yang dilaporkan adalah Egi dan Miftah.

Laporan ini berawal dari penelitian yang diterbitkan ICW terkait dugaan perburuan rente di balik obat Covid-19, Ivermectin. Moeldoko kemudian melayangkan somasi sebanyak tiga kali. Kuasa hukum Moeldoko, Otto Hasibuan mengatakan, ICW telah mengakui pernyataan yang mereka sampaikan sebagai misinformasi. Namun, ICW enggan meminta maaf atas pernyataan itu.

Atas apa yang dilakukan, Moeldoko menolak disebut sebagai sosok antikritik usai melaporkan peneliti ICW Polri terkait dugaan pencemaran nama baik. Ia mengatakan bahwa dirinya biasa menerima kritik dari masyarakat luas di kantornya.

Lantas, ketika mempolisikan peneliti ICW, Kepala Staf Presiden Moeldoko dikritik sebagai pejabat anti-kritik; lalu, di mana kesetaraan antar pejabat dan masyarakat? Kenapa pejabat tidak boleh mempolisikan seorang yang dianggap mencemarkan namanya? Bagaimana mendudukan persoalan ini?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Muhammad Isnur (Kuasa hukum Indonesia Corruption Watch (ICW)/ Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)); Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI)); dan (Muhammad Busyrol Fuad (Manajer Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: