Ketika Pemerintah Minta Dikritik Tapi Para Pengkritik Dikriminalisasi

Jurnalis Bukan Musuh
(Photo: ANTARA)

Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden RI Joko Widodo kembali menjadi sorotan. Kali ini terkait pernyataan terbarunya yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah.

Permintaan itu disampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin 8 Februari lalu. Jokowi mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik.

Apa yang dinyatakan Presiden tersebut seolah paradoks. Sebab, faktanya publik kini justru tak leluasa menyampaikan kritiknya–terutama di media sosial. Publik dan warganet kini dihadapkan pada fenomena pendengung atau buzzer hingga Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat mereka yang lantang mengkritik, terutama lewat jagat maya.

“Habis kasih kritik, langsung dijerat dengan UU ITE,” begitu salah satu komentar warganet.

Jurnalis Dandi Dwi Laksono yang cukup vokal mengritik pemerintah pun turut bersuara. Lewat kicauan di akun Twitter-nya, dia mengulas balik apa yang terjadi pada 2019 silam. Ia menulis:

26 September sore: “Jangan ragukan komitmen saya jaga demokrasi”.
26 September malam, saya ditangkap.
27 September subuh, Ananda Badudu.

Senada, melalui akun twitter pribadinya, ekonom Kwik Kian Gie pun juga menulis, mengaku takut menyampaikan pendapat berbeda atau berlawanan dengan pemerintah saat ini. Kwik khawatir usai mengemukakan pendapat berbeda dengan rezim akan langsung diserang buzzer di media sosial. Ia membandingkan saat dirinya menyampaikan kritik saat Soeharto berkuasa. Di mana dia lebih leluasa melontarkan kritik ke rezim Orde Baru. “Kritik-kritik tajam, tidak sekalipun ada masalah,” ujarnya.

Sementara itu, merespons pernyataan Presiden, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) membeberkan catatan kasus dugaan kriminalisasi hingga serangan digital sepanjang tiga tahun belakangan. Menurut YLBHI, berbagai bentuk ancaman justru meningkat dirasakan sebagian masyarakat yang aktif mengutarakan pendapat di era Presiden Jokowi.

Lantas, ketika Pemerintah meminta dikritik & tetapi para pengritik merasa dikriminalisasi; haruskah kritik di-redefinisi? Bagaimana mestinya negara mendudukkan kritik—agar tak berbuntut pada kriminalisasi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ade Wahyudin (aktivis dari LBH Pers); Sudirman Said (Ketua Institut Harkat Negeri); dan Ray Rangkuti (Pengamat politik/ Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA)). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: