Bagaimana Agar Penegakkan Hukum Terhadap para Penyebar Fitnah dan Ujaran Kebencian, Tidak Digunakan Untuk Membungkam Kritik terhadap Pejabat Publik?

Pembungkaman Kritik

Semarang, Idola 92.6 FM – Menanggapi keluarnya Telegram Kapolri Idham Azis―tentang penegakan hukum tindak pidana siber selama wabah Covid-19, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengingatkan Polri agar tidak melanggar prinsip due process of law dalam melakukan penegakan hukum terkait ujaran kebencian terhadap Presiden dan pejabat, serta pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terkait penanganan wabah virus Corona atau Covid – 19.

Due process of law adalah penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum, sebagai bentuk perlindungan hak individu setiap warga negara untuk diproses sesuai prosedur melalui peradilan, maka prosedur diutamakan.

Arsul juga mengingatkan tentang Surat Edaran Polri mengenai panduan penindakan kasus hoaks agar dilakukan dengan pendekatan preventif sebelum menindak secara tegas.

Politisi Fraksi PPP ini menyampaikan proses penegakan hukum yang dilakukan Polri jangan sampai menimbulkan ketegangan sosial baru di tengah-tengah keresahan masyarakat yang sedang menghadapi makin merebaknya wabah Covid-19.

Apalagi, kita tahu, seluruh rakyat Indonesia berhak dan bebas berpendapat. Hak kebebasan itu bahkan dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kemerdekaan mengemukakan pendapat, juga merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Oleh sebab itu, dijamin oleh Deklarasi Universal Hak – Hak Asasi Manusia PBB.

Meskipun begitu, kita semua tentu sangat mendukung langkah penegakkan hukum yang dilakukan Polri untuk menindak mereka yang menyebar fitnah serta ujaran kebencian di media sosial.Akan tetapi kita meminta agar dibedakan, antara memfitnah dengan mengritik. Jangan sampai batas keduanya menjadi kabur. Karena memfitnah adalah perbuatan yang bukan hanya melawan hokum, tetapi juga perbuatan yang tidak etis. Sementara Kritik, merupakan ekspresi dari kecintaan pihak si pengritik terhadap bangsa dan negara.

Maka, bagaimanakah merekonsiliasi keduanya? Bagaimana kita tetap bisa tetap menjamin kebebasan berpendapat sesuai dengan amanat konstitusi, tetapi juga sekaligus memberantas para penyebar kabar bohong, penyebar fitnah, dan ujaran kebencian?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang mewawancara Arsul Sani (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP) dan Asfinawati (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)). (Andi Odang/ Heri CS)

Berikut wawancaranya: