Bagaimana Mestinya Negara Menempatkan Posisi Kritik Publik?

Like Dislike

Semarang, Idola 92.6 FM – Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam politik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Demokrasi mensyaratkan partisipasi dan kritik adalah anak kandung partisipasi.

Menurut Max Weber, masyarakat rasional dan terdidik menjadi watchdog yang memonitoring pemerintah. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kebijakan publik sangat dibutuhkan karena secara akseleratif akan mendorong lahirnya good governance dengan ciri efisiensi dalam menejemen sektor publik, menciptakan akuntabilitas publik, tersedianya infrastruktur hukum. Terbentuk sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap informasi yang berisi kebijakan, dan adanya transparasi dari berbagai kebijakan.

Namun, dalam sejumlah kasus, kita melihat, negara seolah mulai jengah terhadap kritik. Sejumlah pihak menilai, ada satu syndrome yang muncul di pemerintahan Jokowi di periode pertama lalu menguat di periode kedua yaitu keinginan untuk menjalankan politik dan demokrasi tanpa gaduh. Yang paling menonjol misalnya, bisa dilihat saat pemerintah merumuskan “Omnibus Law” RUU Cipta Kerja. Ketika kritik publik bertubi-tubi pada isi draftnya, Pemerintah jalan terus.

Pada contoh lain, di bidang hukum dan HAM, kritik dan sorotan publik juga begitu tersita pada kasus di Papua. Saat aktivis HAM Papua Veronica Koman menyodorkan data tahanan dan jumlah warga Papua yang tewas akibat kekerasan di Papua, Menkopolhukam Mahfud MD malah menyebutnya sebagai data Sampah!

Dari dua fenomena itu, sisa diartikan, mereka yang mengkritik justru dianggap mengganggu negara. Kita melihat, dalam empat bulan terakhir, stabilitas politik dan cenderung menghindari kegaduhan menjadi titik tekan pemerintahan Joko Widodo. Padahal, adanya kritik publik seharusnya menjadi masukan.

Kita sepakat, dalam mengelola Indonesia, diperlukan stabilitas politik yang kuat. Namun stabilitas yang kuat bukan berarti sentralisasi kekuasaan. Stabilitas politik tetap membuka peluang untuk check and balances. Sebab, demokrasi adalah keterbukaan semua pihak untuk beraktualisasi.

Lantas, ketika kritik menjadi bagian dari merawat demokrasi, bagaimana menempatkan posisi kritik publik pada tempat sebagaimana mestinya–mengingat negara kita masih memilih demokratiassi sebagai system bernegaranya? Lalu, tepatkah pula jika demi alasan stabilitas negara dan menghindari kegaduhan, segala kritik mesti dibungkam?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Firman Noor (Kepala Pusat Penelitian LIPI) dan Dr Gun Gun Heryanto (Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta). (Heri CS)

Berikut diskusinya: