Bagaimana Mestinya Pemerintah Membuat Regulasi E-Commerce?

E-Commerce_Ilustrasi
(Ilustrasi/Osome)

Semarang, Idola 92.6 FM – Ada berbagai cara masyarakat Indonesia menjalankan bidang usaha atau berdagang. Selain melalui cara konvensional, saat ini juga masif melalui perdagangan elektronik (e-commerce) atau proses pembelian, penjualan, dan pertukaran barang melalui jaringan komputer (internet).

Sama seperti praktik niaga konvensional yang memiliki aturan main melalui regulasi, maka, praktik e-commerce pun sudah seharusnya diatur melalui seperangkat aturan untuk melindungi masyarakat yang memanfaatkan sarana e-commerce.

Apalagi, berdasarkan data Kementerian Kominfo pada tahun 2019, pertumbuhan nilai e-commerce di Indonesia mencapai 78 persen dan tertinggi di dunia. Indonesia menjadi negara 10 terbesar pertumbuhan e-commerce dengan pertumbuhan 78 persen dan berada di peringkat ke-1.

E-Commerce
(Ilustrasi/Istimewa)

Sementara, menurut Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), sejak Mei 2020 sampai Desember 2020, setidaknya terdapat 3,3 juta pelaku usaha baru skala mikro, kecil, dan menengah yang masuk dalam ekosistem digital. Jumlah ini ditargetkan kembali tumbuh dan mencapai 6 juta pelaku usaha pada akhir 2021.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ekonomi digital diyakini akan menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian. Di sisi lain, pandemi Covid-19 juga menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi digital.

Maka, melihat begitu besarnya potensi ekonomi digital termasuk e-commerce, sudahkah ditopang dengan aturan yang memadai? Jika belum, aturan apa saja yang mesti disiapkan secara detail agar tak ada yang dirugikan di antara pelaku e-commerce dan pengguna (masyarakat)?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)) dan Bhima Yudistira Adhinegara (Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: