Menyorot Kisruh Partai Demokrat

AHY Partai Demokrat
photo/cnnindonesia

Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah sebelumnya berhasil melewati “badai” dualisme kepengurusan, kini Partai Demokrat seolah tak berhenti dirundung persoalan. Ibarat pertunjukan, drama perebutan partai berlambang bintang mercy itu masih terus berlanjut.

Polemik antara Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono dan Demokrat Kubu Moeldoko yang melakukan Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, memasuki babak baru. Kubu Moeldoko mengajukan judicial review terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung. Empat mantan anggota Partai Demokrat yang merapat ke kubu Moeldoko menggandeng advokat ternama, Yusril Ihza Mahendra, sebagai kuasa hukum dalam judicial review dengan termohon Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly selaku pihak yang mengesahkan AD/ART tersebut.

Yusril menyebut, langkah menguji formil dan materil AD/ART partai politik merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Ia mendalilkan bahwa MA berwenang untuk menguji AD/ART partai politik karena AD/ART dibuat oleh sebuah partai atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan UU Partai Politik.

Yusril pun meminta MA memeriksa apakah AD/ART Partai Demokrat yang memberi kewenangan lebih kepada majelis tinggi bertentangan dengan UU Partai Politik atau tidak. Menurut Yusril, partai politik memiliki peran besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraaan Negara sehingga partai tidak bisa sesuka hatinya membuat AD/ART. Jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola ‘suka-suka’ oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya.

Lantas, menyorot kisruh yang kembali melanda Partai Demokrat, terlepas dari perang kepentingan di antara dua pihak yang bertikai di tubuh partai Demokrat; akankah judicial review AD/ ART ke Mahkamah Agung menjadi yurisprudensi yang mengembalikan PARPOL sebagai domain publik, bukan menjadi milik pribadi? Apakah kalau tesis itu benar, maka judicial review ke MA sebagai gerak maju konsolidasi demokrasi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Firman Noor (Plt. Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia); Aan Eko Widiarto (Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang/ Ahli Hukum Tata Negara); dan Fadli Ramadhanil (Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: