Big Data di Tengah Pusaran Politik, Mungkinkah Percakapan Orang di Medsos bisa menggugurkan Konstitusi?

Luhut Binsar Pandjaitan
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. (Image/Deddy Corbuzier Youtube)

Semarang, Idola 92.6 FM – Istilah ‘big data’ dalam beberapa hari terakhir, menjadi trending topic dalam pusaran politik. Hal itu bermula dari pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengklaim bahwa big data yang berisikan percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung usulan Pemilu 2024 ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang.

Tak hanya itu, dia juga mengklaim pemilih Partai Demokrat, Gerindra, dan PDIP mendukung wacana tersebut. Akan tetapi, ketiga partai politik itu sudah menyatakan menolak usulan penundaan Pemilu 2024.

Apa yang diklaim Luhut pun menuai respons dari sejumlah pihak. Salah satunya, politisi PDIP yang juga Ketua DPR RI Puan Maharani. Ketua DPR Puan Maharani membantah klaim Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa pemilih PDIP mendukung penundaan Pemilu 2024. Puan yang juga menjabat Ketua DPP PDIP menyatakan, partainya memiliki data tersendiri terkait sikap pemilih terhadap wacana penundaan pemilu mendatang.

Akan tetapi, di luar persoalan saling klaim dan berbantah, bisakah, pemilu diundur hanya karena percakapan 110 juta orang di medsos? Apakah klaim tersebut sudah melibatkan para pakar Data Scientist yang independen? Bahkan, di atas itu semua, apakah masuk akal, kalau percakapan orang di medsos bisa menggugurkan konstitusi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Ismail Fahmi (Founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia), Gun Gun Heryanto (Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: