Dilema BBM: Di Antara Lonjakan Harga Minyak Mentah Dunia dan Ketepatan Penyaluran Subsidi BBM

Gas Nozzles
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Rencana Pemerintah yang akan menaikkan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite maupun Solar, menjadi dilema. Bagaimana tidak? Sudah nyaris enam bulan harga minyak mentah dunia melonjak sementara harga BBM bersubsidi makin jauh meninggalkan harga keekonomiannya.

Presiden Joko Widodo bahkan sempat berucap, jika tidak disubsidi harga Pertalite bisa menembus Rp17.100 per liter. Meski demikian, pemerintah tetap menahan diri dengan menjual Pertalite dengan harga Rp7.650 demi menjaga daya beli masyarakat.

Akibatnya, pemerintah harus terus menggelontorkan subsidi lewat PT Pertamina. Tetapi, kekuatan pemerintah dalam membendung kenaikan harga BBM subsidi, semakin berkurang. Bayangkan saja, alokasi subsidi khusus energi dianggarkan lompat berkali-kali lipat dari Rp170 triliun menjadi Rp502 triliun.

Kita memahami, sering terbukti, subsidi BBM cenderung lebih dinikmati oleh kalangan berpunya. Sudah begitu, pemberian subsidi pada BBM justru kian mendorong ‘pemborosan’ yang tidak perlu karena para pemilik mobil jadi semakin malas berjalan kaki/l. Bahkan, untuk jarak yang sangat pendek sekalipun.

Tetapi, tidak berarti semua bentuk subsidi tidak diperlukan lagi, karena subsidi ke beberapa komodoti masih perlu dilakukan untuk melindungi kelompok the bottom of the pyramid.

Jadi, apa saja subsidi BBM yang tepat sasaran sehingga mesti dipertahankan, dan subsidi mana yang luput dari sasaran dan perlu dihilangkan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Tauhid Ahmad (Direktur Eksekutif INDEF), Komaidi Notonegoro (Pengamat Energi/ Direktur Eksekutif ReforMiner Institute), dan Diah Nurwitasari (Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: