Ironis, orang Indonesia doyan membuang makanan, tetapi banyak balitanya yang mengalami gizi buruk

Membuang Makanan
photo/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Masalah sampah makanan menjadi ironi dalam isu-isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi, besarnya angka sampah makanan itu setara dengan kerugian sebesar Rp330 triliun per tahun; berdasarkan kandungan energi yang terbuang, seharusnya ada 61–125 juta orang penduduk Indonesia yang dapat diberi makan seandainya tidak ada sisa makanan. Lebih miris lagi menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) beberapa waktu lalu, Indonesia masih berhadapan dengan masalah stunting atau gizi buruk pada balita yang mencapai lebih dari delapan juta anak. BPS juga mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2021 lalu ada pada angka 26,50 juta jiwa.

Selain nilai ekonomi yang mubazir, timbunan sampah makanan juga jadi masalah lingkungan yang serius. Hanya karena sampah makanan dapat didaur ulang, bukan berarti ia tidak lebih berbahaya ketimbang sampah plastik. Sampah makanan yang membusuk akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tak bisa diabaikan begitu saja terlebih ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.

Menurut penelitian Barilla Center for Food & Nutrition, nilai indeks kehilangan dan kemubaziran pangan Indonesia masuk kategori buruk. Setiap tahun orang Indonesia membuang sampah makanan 300 kilogram dan masuk dalam peringkat tiga besar negara terburuk bersama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Singkatnya, orang Indonesia suka makan, tetapi juga doyan membuang makanan. Padahal di pihak lain, begitu banyak balita yang kekurangan gizi. Maka, bagaimanakah cara membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa tidak hanya secara ekonomis, tetapi ‘gunungan sampah’ sisa makanan itu juga berbahaya bagi lingkungan? Perlukah dikampanyekan, bahwa “Money is yours, but resources belong to the society?”, meski uang yang digunakan untuk membeli memang milik masing-masing orang tetapi makanan sebagai sumberdaya yang sangat terbatas, adalah milik masyarakat?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Prof Budi Widianarko (Pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang),  Dedhy Bharoto Trunoyudho (Founder dan COO  Garda Pangan Surabaya), dan Adi Cilik Pierawan,Ph.D (Sosiolog dari Universitas Negeri Yogyakarta). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengenal Abdul Latif WN, Pendiri Kepul Botot Medan
Artikel selanjutnyaMengenal Ananda Buddhisuharto, Founder Sekolah Hidup Indonesia