Karena Gas Bumi, Warga Tak Lagi Bergantung Pada Elpiji

Warga memasak menggunakan Gas Bumi
Warga memasak menggunakan gas bumi jaringan dari PGN. (photo/bud)

Magelang, Idola 92,6 FM – Tangannya yang kekar dengan cekatan mengumpulkan kayu-kayu kering di ladang belakang rumahnya, untuk dijadikan bahan bakar memasak hari ini. Setelah dirasakan cukup, kayu-kayu kering itu diikat lalu dipanggulnya dan dibawa ke dekat tungku atau pawon.

Kayu-kayu kering yang terkumpul itu, satu per satu mulai ditata di perapian dan kemudian dari sisa bara api tungku akhirnya api menyala. Dengan sebuah pipa kecil, ditiupnya api agar bisa menyala dan membakar kayu hingga rata.

Aslamiah adalah satu dari beberapa warga Desa Karangrejo, di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang yang masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak di dapur. Diakuinya, memasak menggunakan kayu bakar memang merepotkan dan cukup lama berada di dapur.

Meskipun dirinya sudah akrab dengan asap hasil pembakaran kayu bakar, namun memasak memakai tungku tradisional harus rela berlama-lama di dapur dan masakan juga lama matang.

”Masak dengan kayu itu kelamaan, dan bisa nunggu berjam-jam baru bisa masak. Selain itu pas nyari kayu juga harus yang kering, kalau tidak kering ya gk bisa buat kayu bakar,” kata Aslamiah.

Beda dengan Aslamiyah, Supriyati tetangganya yang rumahnya hanya berjarak 50 meter itu mengaku aktivitas memasaknya lebih mudah dan menyenangkan. Sebab, dirinya sudah memakai gas.

Pemakaian gas elpiji bagi Supriyati, tetap membuatnya repot ketika di waktu malam akan masak tetapi gas sudah habis.

”Kadang nyari elpiji juga susah, ke sana ke sini. Buat masak itu untuk 4-5 hari, sebulan ya keluar duit Rp100 ribu,” ucap Supriyati.

Namun, sejak dirinya masuk menjadi salah satu warga pelanggan jaringan gas dari Pertamina Gas Negara (PGN) itu penggunaan gas elpiji mulai ditinggalkan. Supriyati mulai menyukai memakai kompor dengan bahan bakar gas bumi, karena lebih cepat saat memasak dan tidak kesulitan ketika kehabisan gas.

”Sekarang pakai gas dari PGN jadi lebih enak. Subuh bangun mau masak tidak takut kehabisan gas lagi,” ucapnya.

Menurutnya, memakai kompor berbahan gas dari PGN diakuinya juga lebih hemat dari segi konsumsi bulannya. Hal itu diketahui, saat ada petugas dari PGN melakukan kontrol dan pengecekan meteran.

”Pas ada petugas yang datang dicek, baru habis tujuh (meter kubik). Bagi saya ini sangat menghemat pengeluaran bulanan,” jelas Supriyati.

Memasak menggunakan kayu bakar
Seorang warga Desa Karangrejo memasak masih menggunakan kayu bakar. (photo/bud)

Sementara itu Kades Karangrejo Muhammad Heli Rofikun menyatakan, desanya berada di sekitar kaki Pegunungan Menoreh dan masuk di ring satu program destinasi wisata super prioritas dari pemerintah pusat. Selama ini, warganya dalam aktivitas memasak memang sebagian ada yang masih menggunakan kayu bakar dan beberapa di antaranya telah memakai tabung elpiji dari Pertamina.

Menurutnya, kehadiran PGN dalam hal membantu masyarakat untuk menyediakan sumber bahan bakar murah dirasakan cukup bermanfaat.

”Saat ini masyarakat sudah dialiri gas dari PGN, totalnya ada 205 KK dan masih ada 800-900 KK yang belum tersambung gas PGN. Setelah semua warga rumahnya teraliri gas PGN, masyarakat bisa menggunakan untuk kegiatan sehari-hari,” kata Heli.

Heli menjelaskan, sumber gas dari PGN ini merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang murah dan terjangkau masyarakat. Sehingga, warganya bisa memanfaatkan sumber gas dari PGN sebagai energi UMKM rumahan. Pada akhirnya, mampu meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan keluarga.

”Per meter kubiknya memang jauh lebih murah dibandingkan dengan gas elpiji. Infonya dari PGN, per meter kubiknya di kisaran Rp4 ribuan,” ujarnya.

Heli menyebutkan, PGN menggratiskan biaya instalasi jaringan gas dan memberikan satu unit kompor kepada warga. Sehingga, setiap keluarga tidak harus membeli kompor lagi atau mengeluarkan uang guna pembayaran instalasi jaringan gas ke rumah warga.

Menurutnya, program yang diberikan PGN kepada warganya akan terus berlanjut hingga desanya mampu mandiri dari segi energi. Bahkan, saat ini Karangrejo ditetapkan sebagai Desa Energi Baik karena mampu berdikari dalam pemenuhan energi.

”Harapan ke depan hubungan kami dengan Pertamina Gas Negara tetap berjalan baik, dan saling menguntungkan. Saya yakin dengan kerja sama yang bangun saat ini, akan saling menguntungkan kedua belah pihak,” jelas Heli.

Sementara itu Pengelola Balkondes Karangrejo, Widodo menambahkan bahwa kehadiran PGN di desanya juga turut membantu sektor pariwisata. Sebab, jaringan gas juga disalurkan ke homestay untuk penyediaan air panas di samping sebagai bahan energi memasak.

”Kehadiran PGN ini tidak hanya untuk balkondes saja, tapi juga masyarakat sekitarnya. Kalau untuk balkondes, selain homestay juga di kafe yang ada di tengah sawah ini pakai gas PGN,” ujar Widodo.

Menurutnya, wisatawan yang datang ke Balkondes Karangrejo juga mulai tahu jika di desa yang sedang dikunjungi menggunakan energi gas bumi. Tidak hanya di homestay, tetapi juga disalurkan ke rumah-rumah penduduk.

”Banyak sekarang tamu-tamu yang datang, tidak hanya reguler tapi juga tamu menginap. Karena di sekitar balkondes ini banyak destinasi wisata, ada Punthuk Setumbu, Gereja Ayam dan juga kebun buah,” papar Widodo.

Widodo menjelaskan, dengan jaringan gas yang ada di homestay maupun dapur balkondes ini mampu menghemat pengeluaran dari sisi konsumsi energy. Khususnya, untuk pembelian gas elpiji. Sehingga, pemasukan untuk kas desa bisa lebih besar karena ada penghematan dari sisi konsumsi pengeluaran energi.

”Pada masa pandemi, kita bisa memberikan pemasukan ke desa itu sebesar Rp200 juta. Karena, saat pandemi awal itu kita hanya tutup sebentar dan kemudian buka lagi. Ada yang sewa untuk perkawinan, ataupun kegiatan lainnya,” jelasnya.

Terpisah, Area Head Semarang Sugianto Eko menambahkan pada 2021 kemarin pihaknya menghadirkan jaringan gas untuk warga sekitar dan juga homestay di balkondes serta fasilitas pendukung wisata di desa energi baik tersebut. Jaringan gas yang dibangun PGN itu, mengambil gas dari sumur di Alas Dara Kemuning (ADK) Blora dan juga dari SPBG di Semarang.

Menurutnya, gas itu kemudian diangkut dengan moda transportasi Compressed Natural Gas (CNG) ke Balkondes Karangrejo Magelang.

”Saat ini baru ada dua dusun yang sudah menikmati jaringan gas dari PGN. Termasuk homestay yang ada di balkondes. Khusus untuk homestay, digunakan juga untuk pemanas air selain memasak,” kata Sugi.

Sugi menjelaskan, ada tantangan tersendiri saat menghadirkan jaringan gas di Balkondes Karangrejo. Sebab, saat ini di wilayah Kabupaten/Kota Magelang belum terlewati jaringan gas pipa. Sehingga, sumber gas tersebut diambil dari Semarang atau sumber lain yang diangkut menggunakan moda transportasi CNG. Setelah sampai lokasi, dilakukan bongkar muat untuk dialirkan ke pelanggan.

”Kita gunakan truk CNG dengan kapasitas 10 feet, dengan estimasi pemakaian warga sekitar 8-10 meter kubik per bulan. Kalau kita hitung per bulannya ada sekitar dua ribu meter kubik, dan ditambah homestay serta kafe di sana itu kebutuhannya sekitar 5-7 ribu meter kubik per bulan,” jelasnya.

Menurut Sugi, menyalurkan jaringan gas ke Balkondes Karangrejo memiliki tantangan cukup tinggi. Terlebih lagi, sumur atau sumber gas berada di kota lain yang cukup jauh jaraknya ke lokasi tujuan.

”Tantangan yang kita hadapi cukup rumit, dari sisi harga dan perlakuan gasnya. Karena harus dikompres dulu kemudian baru diangkut, itu ada biaya di sana. Tentunya, harga beli akan jauh lebih mahal daripada yang di daerah itu memang sudah ada jaringan pipa gasnya,” ucap.

Sugi berharap, karena di Desa Karangrejo merupakan percontohan dalam penyaluran gas bumi yang jaraknya cukup jauh dari jaringan gas pipa maka akan menarik minat masyarakat lainnya. Sehingga, warga bisa berpartisipasi dalam penggunaan gas bumi dan menjadi pelanggan PGN. Sebab, beberapa fasilitas dan kelebihan yang ditawarkan mampu mendukung kemandirian energi di lingkungannya. (Bud)